Monday, November 10, 2008

Setetes Air di Kehausan Ummat

Sungguh, alangkah berartinya setetes air yang jernih bagi orang yang merasakan kehausan yang sangat. Karena, dengannya orang akan terinspirasi serta termotivasi untuk mencari tetesan air berikutnya.
Itulah analogi berartinya seorang da’i yang memiliki azzam kuat dalam berda’wah di tengah-tengah kehausan dan kegersangan keimanan umat. Karena, dengannya akan memberikan kesadaran kepada umat yang lupa akan kehausan imannya, serta dengannya pula umat bisa terinspirasi dan termotivasi untuk terus mencari lautan ilmu Allah Jalla wa ‘ala.
Haus akan keimanan merupakan fenomena yang sedang terjadi di berbagai negara, lebih khususnya di negara kelahiran kita yaitu negara Indonesia yang sedang mengalami degradasi moral -nau’dzubillah-. Hal tersebut terjadi disebabkan tidak pandai dalam mensikapi hal-hal duniawi.
Berbagai bencana terus melanda di negara kita, diawali dari bencana alam dan terus menuju bencana ekonomi, harga sembako semakin naik, BBM semakin mahal, kondisi perpolitikan tidak menentu, dan terus berlanjut menuju mata rantai bencana berikutnya. Itu semua akan terus terjadi jika manusia tidak beriman dan bertaqwa (QS. Al-A’raf: 96).
Sungguh, dengan waqi’ (fenomena) kita sangat membutuhkan sosok da’i yang memiliki azzam kuat yang bisa menggugah manusia agar bisa memutuskan mata rantai bencana yang sedang belangsung. Memang berat dan susah untuk menjadi setetes air yang jernih di tengah-tengah debu yang bertebaran serta lumut yang selalu menghantuinya dari perubahan warna dan bau. Dan begitu pula, sungguh berat untuk menjadi seorang da’i yang militan, yang dikelilingi keduniawian serta dihantui syaitan dari golongan jin dan manusia, yang sewaktu-waktu bisa merubah niat yang dahulu tertanam dengan kokoh.
Oleh karena itu, teramat penting bagi seorang da’i untuk mencari bekal yang banyak sebelum bertandang ke medan da’wah, agar tidak menjadi da’i yang berguguran di medan da’wah. Adapun bekal yang mesti dimiliki oleh seorang da’i adalah:
1. Kekuatan Iman
al-îmânu yazîdu wa yanqush (iman itu bertambah dan berkurang) adalah suatu fitrah manusia yang tertanam dalam hati dan teraflikasikan dalam rutinitas kegiatan. Begitu pula dengan seorang da’i, diapun tidak akan lepas dari naik dan turunnya keimanan. Adapun batas wajar menurunnya keimanan ini, terbatas sampai kita bertaubat kepada Allah Swt atas menurunnya keimanan tersebut, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Saw: tiap-tiap anak Adam itu berbuat banyak kesalahan, tetapi sebaik-baiknya orang-orang yang berbuat kesalahan itu ialah orang yang banyak bertaubat (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah).
Dengan kekuatan iman inilah, seorang da’i mesti menjadikannya sebagai rel da’wah, yang menghantarkan manusia ke mahatthoh (terminal) kebahagiaan kelak. Jika rel da’wah itu melenceng, maka syaitan tidak akan segan-segan mengikutinya sehingga ia sampai menjadi orang yang sesat (QS. Al-A’raf: 175).
Seorang penyair yang bernama Kahlil Gibran pernah berkata “Iman lebih dahulu mengetahui tentang kebenaran dibanding pengetahuan", maka dengan kekuatan iman inilah merupakan awal perjalanan kebenaran dalam berda’wah, yakni dengan jalan mentadaburi dan mengaplikasikan ayat-ayat Allah Swt dan sunnah Rasul. Ingatlah selalu, bahwa dengan kekuatan iman ini bisa menjadi tameng dari para penghalau atau bahkan para penyerang da’wah.
2. Kekuatan Ilmu
“Iman tanpa ilmu sengsara – Ilmu tanpa iman buta", ini merupakan adagium yang memang sudah dan sedang terjadi dalam kehidupan manusia. Bisa kita lihat bagaimana orang yang berkecimpung dalam tasawuf yang sangat memelihara keimanan dan menafikan ilmu keduniawian (khususnya ilmu tekhnologi), mereka hidup dalam kesengsaraan secara duniawi, dan bahkan bisa sampai sengsara secara ukhrawi, karena Nabi pernah bersabda “barangsiapa yang menginginkan dunia raihlah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin akhirat raihlah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin keduanya raihlah dengan ilmu “
Lihat juga bagaimana gundahnya serta butanya hati para filosof barat terdahulu, yang berkecimpung dalam khazanah ilmu, dan menafikan keimanan. Ataupun bisa kita lihat bagaimana kegalauan hati dan kegalauan hidup para insinyur yang sibuk dalam teknologi, sehingga mengabaikan keimanan.
Iman dan ilmu memang memiliki interdependensi yang tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan, karena jika salah satu mengalami keguguran, maka akan hilang suatu keberhasilan. Suatu konsep yang berbunyi ”kebenaran yang tidak ternidzom (terorganisir), akan bisa dikalahkan kebatilan yang ternidzom", adalah logis dan memang kerap kali terjadi. Oleh karena itu, jika da’wah hanya berbekal pada keimanan saja, ia akan dengan mudah dikalahkan oleh penghalang da’wah yang memiliki banyak khazanah keilmuan.
Orang yang berilmu, akan lebih mengetahui hakikat keimanan dan amal shaleh (QS. Al-Qhasas: 80), serta bisa mengetahui hakikat kebenaran akan wahyu Allah Swt (QS. Saba: 6 & Al-Hajj: 64). Juga orang yang berilmu dan beriman, akan lebih mengetahui hari berbangkit (QS. Ar-Rum: 58) dan akhirnya orang yang berilmu dan beriman akan mendapatkan ketinggian derajat (QS. Al-Mujadalah: 11).
Meskipun kita tidak menapikan suatu adagium yang berbunyi “lebih baik seorang yang bodoh tapi jujur, dari pada seorang pandai tapi jahat“, akan tetapi bagi seorang da’i mesti dan wajib memiliki keimanan yang dibarengi keilmuan, demi menghadapi serta menjawab tantangan jaman yang semakin hari semakin bertambah daya keilmuan manusia.
3. Kekuatan Jasad
Rasulullah bersabda “Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah dari pada mu’min yang lemah ……" (HR. Muslim).
Dari hadits ini, kita dapat mengetahui bahwa Allah Swt lebih menyukai mu’min yang kuat, dari pada mu’min yang lemah. Arti kuat di sini mencakup berbagai aspek, aspek jasadpun termasuk di dalamnya. Kekuatan jasad inilah merupakan alat pembantu jiwa untuk memenuhi dan mengaplikasikan keinginannya.
Seorang da’i mesti memiliki kekuatan jasad yang lebih, agar dapat membantu lancarnya perjalanan da’wah, karena seorang da’i mesti siap mengorbankan apapun, termasuk jasadnya.
Banyak kita lihat acara televisi yang menunjukan keperkasaan musuh Allah Swt secara fisik, baik itu dalam acara WCW-WWF ataupun SMACK DOWN, seperti itulah diantaranya sasaran da’wah kita. Bagaimana kita bisa membuktikan kekuatan Islam, jika umat Islam sendiri tidak memiliki kekuatan (secara jasad khususnya).
Tantangan da’wah itu tidak selamanya berbentuk pemikiran (Ghazwul Fikri), akan tetapi bisa jadi sewaktu-waktu berubah menjadi tantangan secara fisik dari musuh Allah. Dan bagaimana seorang da’i menjawab tantangan tersebut ?!, syair arab mengatakan “Alhadîdu bil hadîdi yuflah” (besi dengan besi lawannya), artinya, seorang da’i mesti siap melawannya dengan jasad. Karena Nabi dan orang yang berimanpun, dahulu mereka berjihad dengan harta dan diri mereka (QS. At-Taubah: 88).
4. Kekuatan Harta
Rasulullah bersabda “sesungguhnya Allah mencintai kepada hamba yang berbakti, kaya, yang tersembunyi" (HR Muslim). Hadits ini menyebutkan bahwa Allah mencintai orang -yang salah satunya- orang yang kaya.
Dari hadits tersebut, akan timbul satu pertanyaan “Mengapa Allah hanya mencintai orang kaya saja padahal Allah sendiri yang menentukan rizki seseorang (QS. Ali Imran: 27 & Al Isra: 307)?" saya jawaba: memang, Allah lah yang memberi rizki manusia, karena Dialah sebaik-baik pemberi rizki (QS. Saba: 397), dan memang Allah pula telah menetapkan rizki seseorang, hal ini Allah maksudkan agar manusia tidak melampaui batas di muka bumi ini (QS. Asy Syura: 27). Sedangkan mengenai masalah mengapa Allah lebih mencintai kepada orang yang kaya?, ini dimaksudkan karena rizki tersebut sudah semestinya manusia jemput, agar terlaksananya cita-cita kaya tersebut, dan Allah lebih mencintai usaha manusia ke arah sana, hal ini Allah tegaskan dalam surat (QS. Al Jum’ah: 10) agar manusia bertebaran di muka bumi untuk menjemput keutamaan Allah. Dalam Al Jâmi’u Li Ahkâmil Qur’an (Imam Al Qurthubi) mengartikan makna keutamaan Allah dengan Rizki Allah.
Bekal da’wah dengan kekuatan harta ini, telah gencar dari dulu dipakai oleh para missionaris dalam rangka pemurtadan umat Islam, dan hasilnya sungguh memuaskan bagi mereka. Memang benar, orang banyak mengatakan bahwa "Harta bukanlah hal yang utama", tapi perlu diingat bahwa harta sering kali mengiringi hal yang utama. Oleh karena itu, bagi seorang da’i sangatlah diperlukan memiliki kekuatan harta, supaya harta tidak menjadi penghalang dalam berda’wah ataupun sampai da’wah dijadikan ladang mencari harta.
Sudah menjadi tugas, agar berbekal banyak demi jalan da’wah yang akan dijalani. Berbekallah yang banyak akan kekuatan Iman, Ilmu, Jasad dan Harta, semoga dengannya kita bisa membuktikan Izzah Islam Wal Muslimin. Layaknya seorang petani yang berbekal tekad (Kekuatan Iman), ilmu pertanian (Kekuatan Ilmu), badan yang fit (Kekuatan Jasad) dan peralatan kebun (kekuatan Harta) sebelum menggarap ladang. Dan selalu ingat, ladang da’wah sangatlah luas, sedangkan hama da’wah telah siap menyergap serta merusak ladang da’wah Anda. Teruslah berusaha, meskipun rintangan dan kegagalan telah kita rasakan.Ingatlah pula, bahwa di pundak kita tertumpu harapan dan amanah umat. Jadilah kumpulan tetesan air yang jernih, sehingga menjadi kolam yang bisa menghilangkan kegersangan dan kehausan hati umat.

No comments: