Monday, November 10, 2008

Merdeka Yang Merdesa


Kemerdekaan acap kali diartikan dengan kebebasan, karena kedua kata ini memiliki arti yang sama. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia pun, kemerdekaan diartikan dengan kebebasan, dan begitupun sebaliknya kebebasan diartikan pula dengan kemerdekaan (Kamus Bahasa Indonesia, hal. 103 & 648).
Potongan kalimat dalam teks Proklamasi yang berbunyi “….Kemerdekaan adalah hak segala bangsa…”, sudah mewakili suara setuju masyarakat Indonesia terhadap kemerdekaan. Ditambah lagi dengan negara Amerika Serikat yang secara terang-terangan setuju akan kemerdekaan, dengan dibangunnya patung Liberty (patung Kemerdekaan) yang megah. Dan juga salah satu agama yang bernama Islam (keselamatan) yang secara nama dan ajarannya menjustifikasi kebenaran akan kemerdekaan. Semua ini membuktikan bahwa kemerdekaan adalah kebutuhan asasi bagi setiap manusia yang berada di muka bumi.
Pramoedya Ananta Toer pernah menulis dalam sebuah buku tentang curahan hatinya akan arti sebuah kebebasan, beliau berkata “Tak adalah rasanya sesuatu yang lebih maha kuasa daripada kebebasan". Disini penulis tidak bermaksud hendak mengkritisi ideologi beliau dalam untaian kata-katanya, tetapi bermaksud menggarisbawahi bahwa disetiap angan-angan manusia pasti memiliki kesamaan keinginan untuk hidup merdeka/bebas, termasuk juga saya dan Anda. Akan tetapi perbedaannya adalah dalam cara pengungkapan dan cara pelaksanaannya, karena perbedaan tersebut muncul diakibatkan perbedaan kemampuan rasa dan kekuatan pikir setiap manusia.
Yang menjadi titik realita dalam permasalahan ini bukannya menyentuh permasalahan kaidah berbahasa, akan tetapi bertumpu kepada permasalahan interpretasi sebuah kemerdekaan/kebebasan menurut setiap manusia yang teraplikasikan dalam sikap dan tingkah laku mereka.
Kemerdekaan secara umum diartikan sebagai sifat terlepas dari suatu ikatan-ikatan, sehingga ia dapat bergerak sekehendaknya. Kemerdekaan yang seperti ini, terlahir dari fitrah dan sikap manusia yang telah ditumpangi oleh syahwatnya, yang akhirnya pemahaman tersebut menjalar terhadap sikapnya yang bisa menjajah hak-hak orang lain. Oleh sebab itu, kemerdekaan bagi manusia bukan berarti bebas tanpa batas, akan tetapi bebas yang memiliki pola pikir dan prilaku yang merdesa (Ber-akhlaqul karimah).
Kemerdekaan yang merdesa ini hanya akan menjadi isapan jempol semata, jika manusia tidak memiliki pola batasan humanis dan batasan formal. Artinya, kemerdekaan harus memiliki batasan yang sesuai dengan hati nurani, norma hukum dan adat, serta yang lebih penting yaitu memiliki batasan norma agama. Karena, dengan batasan hati nurani manusia tidak akan bisa menjajah hak orang lain, dan dengan batasan norma hukum dan adat manusia tidak akan bisa menjajah hak-hak lembaga dan golongan lain. Adapun dengan batasan agama, manusia tidak akan bisa menjajah hak-hak umat beragama, dan tidak bisa menghilangkan hak Tuhan dari hamba-hamba-Nya, yaitu hak Disembah dan hak di-Esa-kan.
Jika kita mencoba melirik bangsa kita Indonesia, kita akan berpikir dan bertanya apakah bangsa kita telah memiliki sikap merdesa dalam memanfaatkan kemerdekaan ini ?!. Kita tidak perlu cape untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebab realita yang terjadi selama kemerdekaan ini berlangsung, telah menjawab secara lantang akan kesalahan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan kemerdekaannya.
Sudah mulai memasuki usai tua –jika bersandar hitungan umur manusia– negri kita terbebas dari penjajahan bangsa asing, Rodi dan Romusa telah ia rasakan kepahitannya. Akan tetapi, kepahitan tersebut bukannya dijadikan “obat” penyemangat hidup untuk bisa berkarya dan berbhineka tunggal ika, tapi malah dijadikannya sebagai “racun” yang menjalar kedalam tubuh-tubuh para penguasa yang lalim. Mereka menjajah rakyatnya dengan cara mengeksploitasi kekayaan negara (baca: korupsi), mengadu domba rakyat kecil demi kepuasan kedudukannya, yang kesemuanya ini berefek kepada “disintegrasi bangsa, kemiskinan serta kebodohan rakyat jilid ke-II“.
Ataupun jika kita meneropong lebih jauh kondisi internasional saat-saat kebelakang hingga sekarang, kita akan pula berkesimpulan bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya tercapai. Begitu banyaknya penjajahan hak asasi dengan memakai topeng humanisme dan norma-norma hukum, sehingga mereka dengan seenaknya menuduh orang lain dan golongan lain sebagai teroris ataupun sebagai pemicu kekacauan negara. Sebut saja Amerika –negara berlabel patung Liberty- memakai topeng humanisme untuk menyerang Afghanistan, juga memakai topeng norma-norma hukum untuk menggulingkan kepemimpinan Sadam Husen, padahal disinyalir hanya bertujuan balas dendam dan hendak mengeruk emas hitam bangsa Irak.
Sekali lagi, apakah kemerdekaan sudah sepenuhnya kita raih ?!, realita menjawab “belum”. Sebab kemerdekaan kali ini belum memiliki sifat merdesa, yang belum dibatasi oleh hati nurani, norma hukum dan adat, serta norma agama. Akhirnya, kita berkesimpulan bahwa kemerdekaan kali ini malah berbuah neo-imperialis (penjajahan baru) terhadap kaum yang menjunjung tinggi kemerdekaan yang merdesa.
Oleh karena itu, pantas Nabi Muhammad Saw pernah bersabda:(الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر (مسلم) Dunia itu penjaranya orang beriman, dan surganya orang kafir (HR. Muslim). Jika hadis ini dihubungkan dengan kemerdekaan di dunia kali ini, maka bisa disimpulkan bahwa penjajahan akan terus berlanjut sampai bumi dihancurkan. Dan hadis ini menunjukan bahwa umat yang beriman masih terjajah (terpenjara) oleh keserakahan, kepongahan dan kebodohan orang-orang kafir dan berdosa di atas muka bumi.
Sabda Nabi Saw diatas bukan berarti menganjurkan orang yang beriman mesti pasrah terpenjara/terjajah oleh orang kafir, akan tetapi beliau mendorong orang yang beriman –dalam keterjajahannya– untuk senantiasa berpikir dan berusaha meraih perbaikan diri, keluarga dan masyarakat agar mereka mendapat kebahagiaan ketika keluar dari penjajahan dunia.
Hal di atas penulis analogikan seperti kondisi para tahanan di sebuah LP (Lembaga Permasyarakatan) yang memiliki strata kehidupan yang berbeda dan kondisi kerohanian yang berbeda, hidup dibawah satu atap dan satu hamparan. Jika mereka berpikir dan bertindak merdesa semasa di tahanan, maka mereka akan mendapatkan grasi penahanan dan akan bahagia ketika keluar dari tahanan. Tetapi jika mereka berpikir dan bertindak layaknya penjajah, maka mereka akan hidup susah malahan akan dipindahkan ke dalam penjara yang lebih menyeramkan lagi, meskipun mereka mendapatkan kebahagiaan, mereka akan merasakan sementara waktu saja. Artinya, orang yang beriman (yang merdesa) akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Tapi bagi orang yang berdosa dan kafir (penjajah di dunia) akan hidup dalam kegelisahan serta akan mendapatkan kesusahan di akhirat kelak. Maka, merdekalah secara merdesa.Dengan mengutip ucapan Umar Ibn Khattab, penulis katakan kepada para penjajah hak asasi "Kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka terlahir dalam keadaan merdeka" !.

No comments: