Monday, November 10, 2008

Interaksi Sosial dengan Taqwa

Ketika Allah menciptakan manusia berbangsa dan bernegara, itu tidak berarti Dia menyeru manusia untuk bersikap fanatik dengannya. Tapi sebaliknya, kita diperintahkan untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Dan perintah ini bertujuan agar bisa mengikis jiwa-jiwa sektarian dan sikap esklusif manusia. Maka, dari mana pun basic seseorang, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Namun yang menjadi catatan penting, interaksi sosial ini mesti berlandaskan ketaqwaan kepada Allah. Sebab hanya orang yang bertaqwa kepada Allah-lah yang paling mulia di sisi Allah (QS. 49:13).



Sehingga segala opini, paradigma, atau ideologi apapun tidak dapat ditolerir, apabila itu bermisikan untuk menghalangi seseorang dalam mengenal satu sama lain (Ta'aruf), bahkan agama sekalipun tidak dibenarkan. Namun, jika ta'aruf bertujuan agar kita dapat menanggalkan prinsip ketaqwaan, maka dengan sendirinya ta'aruf tersebut tertolak. Misalkan dalam interaksi ta'aruf antar suku untuk bersatu dan mengusung jiwa nasionalisme, sembari bermisikan penanggalan ketaqwaan dalam diri manusia, seperti memperjuangkan sekulerisme. Maka ta'aruf dalam frame nasionalisme seperti ini mesti ditolak, sebab orang yang bertaqwa kepada Allah pasti menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, baik hukum dalam skup personal ataupun nasional.

Ta'aruf seorang muslim kepada non-muslim pun tidak dilarang, selama ta'aruf ini memegang prinsip ketaqwaan. Semisal, ta'aruf bertujuan untuk menjalin mu'amalah yang baik antar agama, dengan jalan toleransi (Tasâmuh). Tapi jika bertujuan untuk memobilisasi massa menuju ide-ide pluralisme agama, jelas hal ini berseberangan dengan nilai ketaqwaan. Karena orang yang bertaqwa kepada Allah, adalah mereka yang mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah (QS. 3:19 & 85, 5:3).

Apatah lagi jika ta'aruf dua orang muslim yang berlainan geografis, umur, strata sosial, bertujuan untuk menjalin ukhuwah Islamiah, ini tidak dilarang bahkan dianjurkan agama Islam. Lain halnya jika ta’aruf ini bertujuan untuk bersepakat dalam sebuah kemaksiatan, ini jelas-jelas tidak menandakan sikap orang yang bertaqwa.

Nampaknya sekarang sudah jelas, bahwa agama Islam mengajarkan manusia untuk hidup bersosial, meskipun dengan orang yang berlainan asal, keturunan, ideologi, bahkan agama. Sebab agama Islam bermisikan ukhuwah dan da'wah, dalam frame taqwa.

Maka heran jika umat Islam yang kini berjumlah satu setengah miliar ada yang memperjuangkan rasisme, nasionalisme penyulut pertikaian antar negara, sektarianisme madzhab, chauvinisme dan ideologi-ideologi konservatif/primitif (Jahiliyyah) lainnya. Komunitas-komunitas seperti ini tidak melambangkan ketaqwaan kepada Allah, sehingga layak didepak dari golongan umat Rasulullah. Sebagaimana sabda Rasul:

"Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak pada fanatisme, dan bukan dari golongan kami orang yang berperang atas nama fanatisme, serta bukan dari golongan kami orang yang mati demi fanatisme" (HR. Abu Daud).

Jika dari sabda Rasul ini menegaskan bahwa orang-orang fanatik dianggap tidak termasuk golongan beliau, lalu termasuk golongan siapakah mereka?. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah menegaskan bahwa mereka termasuk golongan orang-orang jahiliyyah:

"Barangsiapa yang berperang di bawah panji kejahiliyahan dan membenci dengan alasan fanatik, berpihak karena fanatik, atau menyeru pada kefanatikan. Lalu jika ia terbunuh (demi kefanatikan), maka ia telah terbunuh dalam kejahiliyahan" (HR. Muslim dan Baihaqi).

Adapun sikap fanatik kita terhadap agama Islam, ini bukan termasuk sikap kejahiliyahan. Justeru orang-orang yang memperjuangkan pluralisme agamalah, yang termasuk orang-orang jahiliyah. Karena mereka bersikap tidak berlandaskan ketaqwaan.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

No comments: