Monday, November 10, 2008

Secercah Harapan

Tiada kisah dan sejarah yang tidak akan berakhir, dan semua orang pasti menginginkan akhir yang bahagia (Happy ending). Begitu pun dengan sejarah perjalanan Islam dan Muslimin, pasti akan berakhir, dan akan berakhir dengan kebahagiaan. Karena ini memang merupakan janji Allah dan Rasul-Nya. Adapun peran kita saat ini hanya diberikan pilihan, apakah ingin menjadi orang yang bergabung merasakan kebahagiaan nanti, ataukah hancur lebur bersama orang-orang yang dirundung kekalahan?.



Jika kita tidak peduli dengan problematika umat Islam saat ini, individualistik dan hidup hanya mengejar kesenangan sesaat. Berarti kita lebih memilih pilihan kedua, yaitu bergabung bersama orang-orang kalah. Nabi Muhammad Saw. menamakan kelompok ini dengan "Manusia Buih" sebagaimana dalam sabda-Nya: "Hampir saja bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian dari seluruh penjuru, seperti orang memperebutkan makanan", para sahabat bertanya "Apakah kita pada saat itu sedikit, wahai Rasulullah Saw.?", beliau menjawab "Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak, namun kalian seperti buih di atas air, dan Allah Swt. mencabut rasa takut terhadap kalian dalam dada musuh-musuh kalian, sementara Dia akan meletakan Wahn (kelemahan) dalam hati kalian". Para sahabat kembali bertanya, "Apakah Wahn itu wahai Rasulullah?", beliau menjawab "Cinta dunia dan takut mati"(HR. Ahmad dan Abu Daud ).


Lebih jauh lagi, hadits ini menunjukkan sumber kondisi yang berbahaya yang membuat umat menjadi seperti buih, yaitu faktor kejiwaan dan moral. Bukan karena faktor materi atau ekonomi. Sebab ia adalah penyakit dari segala penyakit, seperti penyakit inferioritas yang merasuk dalam jiwa dan merubahnya menjadi kerdil serta merusaknya. Sehingga umat Islam yang saat ini berjumlah 1.5 miliar, tunduk dalam hegemoni (Haimanah) Yahudi yang hanya berjumlah 15.050.000.


Namun jika kita ingin menjadi golongan yang berbahagia di akhirnya, maka kita mesti siap mengorbankan jiwa, raga, keluarga dan harta untuk izzah Islam wal Muslimin. Menjadi mata rantai penyebaran Islam ke pelosok dunia, sebagaimana janji Nabi Saw "Islam akan mencapai wilayah yang dicapai siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan rumah yang mewah maupun rumah yang sederhana, kecuali akan memasukkan agama ini ke dalamnya. Dengan memuliakan orang yang mulia atau dengan menghinakan orang yang hina. Mulia karena dimuliakan Allah disebabkan keislamannya dan hina karena dihinakan Allah disebabkan kekafirannya"(HR. Ahmad dalam Musnad).


Juga kita siap menjadi pion-pion, yang akan menegakkan khilafah Islamiyah yang telah dijanjikan Rasulullah kepada umat Islam. Dalam sabdanya "Masa kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang masa kekhilafahan atas manhaj kenabian selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang masa kerajaan dzalim selama beberapa masa, selanjutnya datang masa kerajaan diktator dan totaliter dalam beberapa aamasa hingga waktu yang ditentukan Allah. Setelah itu akan (terulang kembali) kekhilafahan atas manhaj kenabian" kemudian Rasullah berdiam (HR. Ahmad dalam Musnad).


Menurut Samuel P. Huntingthon dalam The Clash of Civilization; and remaking of world order "Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati....... Sebab bagi Barat, yang menjadi "ganjalan" utama bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri". Realita menjawab jelas, bahwa Islam telah ditetapkan Barat sebagai musuh mereka. Dan kita yakin, peradaban Barat saat ini sedang dalam babakan terakhir, atau meminjam istilah Francis Fukuyama "The end of History". Jika memang babakan kemenangan Islam sebentar lagi, apakah kita hanya akan termangu menjadi penonton? Ataukah berani maju menjadi aktor yang handal?.


Tugas yang bisa kita lakukan saat ini adalah: Kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah, karena dua pegangan inilah yang menjadi sandaran kegemilangan peradaban Islam dahulu. Perkuat barisan, karena dengan ini kita tidak lagi disibukan dengan skisma (Perpecahan) dan heresy (Takfîr). Islamisasi ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bisa memperkuat peradaban, sebagaimana dahulu pada jaman khalifah Al Manshur, Harun Ar Rasyid dan Al Ma'mun peradaban Islam semakin gemilang karena menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India, seperti; Astronomi, matematika, sastra, dll. Kemudian ilmu-ilmu ini diislamisasikan dengan mengambil yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an da As Sunnah, setelah itu dikembangkan oleh ulama-ulama Islam. Dan bahkan Barat bisa seperti sekarang ini karena ilmu pengetahuan, yang sebenarnya mereka ambil dari ulama-ulama muslim. Sebut saja Adam Smith (1776 M) –Bapak ekonomi Barat- menulis buku Wealth of Nation, yang diduga mendapat inspirasi dari buku Al Amwâl karangan Abu Ubaid (838 M). Perkuat pertahanan militer, karena dengan ini akan menambah wibawa Islam di hadapan musuh-musuhnya. Dan Last but not least, Tentukan musuh bersama umat Islam, karena dengan ini bisa menyamakan barisan umat Islam.

Ketika Sosialis, Komunis, Kapitalis, dan ideologi lainnya berebut menawarkan sistem tata negara. Umat Islam kali ini malah inferioritas bahkan enggan memakai sistem kenegaraan yang diberikan Tuhannya. Padahal Allah sudah menjanjikan "Secara tegas Allah telah menjanjikan sesuatu kepada orang-orang yang mempercayai kebenaran, tunduk kepadanya dan mengerjakan amal saleh. Yaitu, Dia akan menjadikan mereka sebagai pengganti orang-orang terdahulu yang mewarisi kekuasaan di muka bumi, seperti halnya orang-orang yang telah mendahului mereka. Allah juga akan meneguhkan bagi mereka agama Islam sebagai agama kepasrahan yang diridai-Nya. Dengan demikian, kalian menjadi memiliki wibawa dan kekuasaan. Begitu pula Allah akan mengganti keadaan mereka dari rasa takut menjadi rasa aman, sehingga kalian dapat beribadah dengan tenang dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun dalam beribadah. Barangsiapa memilih untuk kafir setelah datangnya janji yang benar ini, atau keluar dari agama Islam, sesungguhnya mereka itu adalah orang- orang yang fasik, ingkar dan membangkang" (An Nûr: 55).

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Interaksi Sosial dengan Taqwa

Ketika Allah menciptakan manusia berbangsa dan bernegara, itu tidak berarti Dia menyeru manusia untuk bersikap fanatik dengannya. Tapi sebaliknya, kita diperintahkan untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Dan perintah ini bertujuan agar bisa mengikis jiwa-jiwa sektarian dan sikap esklusif manusia. Maka, dari mana pun basic seseorang, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Namun yang menjadi catatan penting, interaksi sosial ini mesti berlandaskan ketaqwaan kepada Allah. Sebab hanya orang yang bertaqwa kepada Allah-lah yang paling mulia di sisi Allah (QS. 49:13).



Sehingga segala opini, paradigma, atau ideologi apapun tidak dapat ditolerir, apabila itu bermisikan untuk menghalangi seseorang dalam mengenal satu sama lain (Ta'aruf), bahkan agama sekalipun tidak dibenarkan. Namun, jika ta'aruf bertujuan agar kita dapat menanggalkan prinsip ketaqwaan, maka dengan sendirinya ta'aruf tersebut tertolak. Misalkan dalam interaksi ta'aruf antar suku untuk bersatu dan mengusung jiwa nasionalisme, sembari bermisikan penanggalan ketaqwaan dalam diri manusia, seperti memperjuangkan sekulerisme. Maka ta'aruf dalam frame nasionalisme seperti ini mesti ditolak, sebab orang yang bertaqwa kepada Allah pasti menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, baik hukum dalam skup personal ataupun nasional.

Ta'aruf seorang muslim kepada non-muslim pun tidak dilarang, selama ta'aruf ini memegang prinsip ketaqwaan. Semisal, ta'aruf bertujuan untuk menjalin mu'amalah yang baik antar agama, dengan jalan toleransi (Tasâmuh). Tapi jika bertujuan untuk memobilisasi massa menuju ide-ide pluralisme agama, jelas hal ini berseberangan dengan nilai ketaqwaan. Karena orang yang bertaqwa kepada Allah, adalah mereka yang mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah (QS. 3:19 & 85, 5:3).

Apatah lagi jika ta'aruf dua orang muslim yang berlainan geografis, umur, strata sosial, bertujuan untuk menjalin ukhuwah Islamiah, ini tidak dilarang bahkan dianjurkan agama Islam. Lain halnya jika ta’aruf ini bertujuan untuk bersepakat dalam sebuah kemaksiatan, ini jelas-jelas tidak menandakan sikap orang yang bertaqwa.

Nampaknya sekarang sudah jelas, bahwa agama Islam mengajarkan manusia untuk hidup bersosial, meskipun dengan orang yang berlainan asal, keturunan, ideologi, bahkan agama. Sebab agama Islam bermisikan ukhuwah dan da'wah, dalam frame taqwa.

Maka heran jika umat Islam yang kini berjumlah satu setengah miliar ada yang memperjuangkan rasisme, nasionalisme penyulut pertikaian antar negara, sektarianisme madzhab, chauvinisme dan ideologi-ideologi konservatif/primitif (Jahiliyyah) lainnya. Komunitas-komunitas seperti ini tidak melambangkan ketaqwaan kepada Allah, sehingga layak didepak dari golongan umat Rasulullah. Sebagaimana sabda Rasul:

"Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak pada fanatisme, dan bukan dari golongan kami orang yang berperang atas nama fanatisme, serta bukan dari golongan kami orang yang mati demi fanatisme" (HR. Abu Daud).

Jika dari sabda Rasul ini menegaskan bahwa orang-orang fanatik dianggap tidak termasuk golongan beliau, lalu termasuk golongan siapakah mereka?. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah menegaskan bahwa mereka termasuk golongan orang-orang jahiliyyah:

"Barangsiapa yang berperang di bawah panji kejahiliyahan dan membenci dengan alasan fanatik, berpihak karena fanatik, atau menyeru pada kefanatikan. Lalu jika ia terbunuh (demi kefanatikan), maka ia telah terbunuh dalam kejahiliyahan" (HR. Muslim dan Baihaqi).

Adapun sikap fanatik kita terhadap agama Islam, ini bukan termasuk sikap kejahiliyahan. Justeru orang-orang yang memperjuangkan pluralisme agamalah, yang termasuk orang-orang jahiliyah. Karena mereka bersikap tidak berlandaskan ketaqwaan.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Mengurai Rahasia Takdir

Merupakan hak Tuhan untuk menciptakan dan memerintah alam semesta beserta isinya, bergantinya siang dan malam, bulan-bintang, alam semesta seluruhnya tunduk pada perintah-Nya (QS. 7:54). Namun kenapa, manusia yang tidak lebih hebat penciptaannya dari pada alam semesta (QS. 37:11, 79:27), tidak senantiasa tunduk kepada Sang Pencipta. Dan mengapa manusia berani bersebrangan dengan apa yang diperintahkan Tuhan, tidak sebagaimana alam semesta?.


Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui di awal bahwa alam semesta diciptakan Allah dengan sifat Iradah-Nya, dengan tujuan agar ia senantiasa ta'at kepada-Nya. Sebagaimana dalam penciptaan Malaikat, ia diciptakan dengan sifat Iradah Allah, sehingga mereka statis dalam keta'atan kepada-Nya.


Iradah ini sinonim dengan kata Ridha, dan Ridha hanya ditujukan pada satu objek untuk dua hal yang berlawanan. Sebab mustahil dua hal yang berlawanan berkumpul dalam satu masa dan diridhai keduanya oleh Allah. Misalkan saja bumi yang kita tinggali ini diciptakan Allah tidak dengan sifat Iradah-Nya, sehingga memiliki dua karakter yang bisa berotasi pada porosnya secara berlawanan dalam satu masa, tidak ayal lagi dalam sekejap bumi ini akan luluh lantah. Kecuali Allah memberikan bumi tersebut akal dan kemampuan memilih, sebagaimana manusia.


Lain halnya dengan manusia, Allah menciptakannya dengan sifat-Nya yang Qadlir (yang Berkuasa). Artinya, dengan Qurdrah Allah menciptakan manusia untuk bisa memiliki dua karakter yang berlawanan. Qudrah ini yang biasa kita sebut dengan Takdir, yaitu ketentuan Tuhan terhadap segala sesuatu sejak jaman Azali.


Kedua karakter yang diberikan Allah kepada manusia ini, adalah berupa karakter baik dan buruk (QS. 91:8, 76:3). Adapun tugas manusia setelah diciptakan-Nya, adalah memilih di antara kedua karakter tersebut. Pastinya, setelah Allah menganugerahi manusia akal dan kebebasan dalam memilih dua karakter, sebagaimana dalam firman Allah: .... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri... (QS. 13: 11). Di ayat ini dijelaskan, manusia diberikan Allah hak untuk memilih ke arah mana perubahan yang diinginkannya.


Apapun yang dipilih manusia, pilihannya tetap berada dalam Qudrah/Takdir Allah. Namun bukan berarti semua takdir Allah atas manusia, itu semuanya diridhai-Nya. Karena ridha hanya terbatas pada satu objek saja, dan yang diridhai Allah dari manusia adalah ketika manusia memilih satu karakter yang diridhainya, yaitu karakter baik/benar, atau apa yang disebut dengan menjalankan ibadah (QS. 51:57). Sehingga sampai di sini kita dapat menjawab pertanyaan di awal tadi, bahwa manusia karena diberikan anugerah untuk dapat memilih dua karakter, maka membuka kemungkinan baginya untuk memilih karakter yang tidak diridhai Allah. Apa pun yang dipilih manusia, dia mesti bertanggung jawab atas pilihannya tersebut (QS. 74:38).


Disamping manusia diciptakan Allah dengan sifat-Nya yang Qadir, juga ada beberapa hal diciptakan dengan iradah-Nya. Sehingga manusia tidak diberikan kuasa untuk memilihnya, seperti dalam perkara ajal, rizki, musibah.


Qudrah/Takdir ini senada dengan Masyi'ah, yang merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah. Karena, Masyi'ah juga untuk menunjukkan pada sifat berkuasanya Allah dalam menghendaki pada dua karakter yang berlawanan. Namun bedanya dengan Qudrah, Masyi'ah bukanlah ketentuan Allah pada jaman azali. Tapi ia merupakan sifat Allah yang mengizinkan ketika manusia telah memilih salah satu Qudrah-Nya. Masyi'ah ini biasa kita kenal dengan sebutan Qadla, yang berarti pelaksanaan Qadar ketika terjadi.


Seperti halnya Qudrah, Masyi'ah tidak menunjukkan bahwa setiap apa yang diizinkan Allah otomatis diridhainya. Karena ridha Allah hanya untuk satu objek/karakter saja. Jadi ketika manusia memilih karakter keburukan, maka dia sejalan dengan Qudrah/Takdir Allah. Namun pilihan manusia tersebut bergantung pada masyi'ah (perizinan) dari Allah. Jika Allah mengizinkan pilihannya untuk berbuat keburukan, maka pilihan tersebut akan terjadi dan membuahkan akibat. Sehingga secara otomatis juga pilihannya tidak diridhai Allah, karena manusia memilih pilihan yang salah, dan berhak mendapat siksa.


Begitu juga, jika manusia lebih memilih kebaikan, maka dia sejalan dengan Takdir Allah. Dan jika Allah mengizinkan pilihannya itu terjadi, maka pilihannya akan membuahkan akibat baik (QS. 55:60). Secara otomatis juga, dia diridhai Allah dan berhak mendapatkan pahala.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Mengembalikan Ras manusia dengan Da'wah

Peran da'wah tidak dapat dinafikan dari cita keberhasilan sebuah agama. Ibarat mobil, ia diumpamakan sebagai ban yang dapat mengantarkan kerangka mobil, hingga dapat memikat penumpang untuk menaikinya. Begitu pun dengan agama, tanpa peran da'wah, ia laksana bangkai kerangka mobil, tidak dapat maju atau pun mundur, malahan mandeg dan akhirnya berkarat lalu hancur.


Nabi Muhammad Saw. bisa kita katakan seorang Bapaknya para da'i, karena dengan da'wah beliau, bisa menyampaikan keagungan akan misi agama Islam. Bahkan dari da'wah beliau dapat melahirkan para da'i sekaliber Abu Bakar, Umar bin Khattab dll.


Pesan Rasulullah yang berbunyi "Agama itu Nasihat" (HR. Muslim), jelas menunjukkan bahwa agama itu nasihat yang dapat memperbaiki umat. Namun sebatas ajaran agama saja itu tidaklah cukup, mesti ada satu peran sebagai pelaksana dan penghubung antara agama dengan umat manusia. Dialah da'i. Maka ketika seorang da'i tidak dapat menyampaikan pesan-pesan agama dengan baik, sehingga tidak dapat dipahami pendengar, ia bukanlah seorang da'i. Karena alih-alih merubah umat dengan pesan agama, ia malah membuat mereka bingung dan bahkan bisa menjadi titik balik negatif terhadap agama. Umat jadi menyalahkan agama.


Satu hal yang menarik dalam ajaran Islam, yaitu mengenai terma kerahiban atau tokoh agama tidak dikenal dalam Islam. Karena ajaran Islam tidak untuk dimonopoli sebagian orang ataupun golongan tertentu. Sehingga tugas mempelajari dan menyebarkan ajaran agama pun, berlaku bagi setiap pemeluknya. Siapa pun dia; tua atau muda, pelajar atau pekerja, miskin atau kaya, pejabat atau rakyat, bahkan seorang pendosa besar pun terkena kewajiban untuk mempelajari dan menyebarkan agamanya. Adapun mengenai urusan diterima atau tidaknya sebuah nasihat oleh pendengar, itu kembali kepada Allah Sang Pemegang hati manusia. Namun tentunya jika diawali niatan dan usaha yang baik dari da'i ataupun mad'u.


Sering kali kita salah dalam menafsirkan surat Ash Shaf: 2-3, sehingga dengan memakai hujjah ayat ini banyak orang yang enggan berda'wah. Dengan alasan takut dibenci Allah, terutama ketika mengaca pada diri belum bisa bertaqwa (shalih). Padahal jika kita menengok kembali historis turunnya ayat ini, ternyata kebencian Allah ditujukan kepada mereka yang berjanji kepada Allah dan Rasul-Nya, namun tidak mereka tepati.


Dikisahkan ada seorang berkata kepada Nabi: "Kalaulah kami tahu amalan-amalan apa saja yang lebih utama (lebih dicintai) menurut Allah, maka kami akan melaksanakannya", lalu turunlah surat Ash Shaf ayat 10 dan 11 yang menjelaskan tentang amalan-amalan yang disukai Allah, yaitu; Beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, serta berjihad fisabilillah. Namun setelah mereka diberi kabar mengenai amalan-amalan yang disukai Allah ini, mereka hanya melaksanakan dua amalan saja, yaitu iman kepada Allah dan rasul-Nya, dan tidak mau untuk berjihad. Akhirnya turunlah surat Ash Shaf ayat 2 dan 3, yang menegaskan bahwa Allah membenci orang-orang yang berjanji tapi tidak menepatinya.


Jadi tidak sesuai jika surat Ash Shaf ayat 2 dan 3 ini diterapkan kepada para da'i yang berda'wah, dan dia sendiri belum bisa melaksanakannya. Seperti da'i yang mengajak orang lain agar bertaqwa, tapi dia sendiri belum sempurna ketaqwaannya, ini tidaklah mengapa. Atau misalkan seorang yang biasa minum arak melihat orang yang sedang membawa sebilah pisau dengan niat hendak membunuh saudaranya, si pemabuk itu tetap wajib menasihati dia, karena taklif untuk berda'wah bersifat umum bagi semua umat Islam.


Kendati pun saya sendiri tidak menafikan adanya potensi-potensi agar da'wah bisa tersampaikan dengan baik dan dapat diterima dengan ikhlas. Potensi-potensi yang saya maksudkan seperti; memperbaiki diri, berpenampilan baik, piawai dalam menyampaikan pesan, dll. Namun bukan berarti kewajiban berda'wah ini menjadi terhapus, ketika potensi-potensi ini tidak dimiliki. Sebab di samping perintah da'wah bersifat menyeluruh, juga untuk urusan hidayah tetap di Tangan Allah Swt.


Jika kita mengamati fenomena da'wah saat ini, ternyata seruan Islam yang mengajarkan agar umat Islam seluruhnya menjalankan da'wah, kini malah terbalik, bahkan tidak sedikit dipolitisir. Seakan peran da'wah sudah ditugaskan kepada sebagian golongan saja, dan sebagian yang lain bungkam. Dan da'wah hanya sebatas di atas mimbar-mimbar ceramah, juga untuk mereka yang pandai berceramah. Celakanya, mereka yang berada di luar lokasi ceramah tidak dapat tersirami nasihat-nasihat agama, padahal objek da'wah lebih banyak di luar lokasi ceramah.


Ketika terlihat dua pasangan non-mahram sedang bergandengan tangan atau berciuman di jalanan, kita biarkan. Di saat melihat para pedagang sedang mengasongkan gambar-gambar haram, kita pun diam. Sampai ketika para atasan dan rekan kerja korupsi pun, kita bungkam. Da'wah seakan-akan satu hal yang tabu, atau bahkan konservatif. Orang yang melakukan dosa tidak lagi malu melakukannya, tapi malahan kita –yang terkena taklif da'wah- yang merasa malu untuk menasihati.


Kondisi seperti ini malah berdampak negatif bagi keberlangsungan sosial dan spiritual umat manusia. Maka tunggulah, bergantinya ras manusia menjadi ras binatang, atau lebih parah dari itu.


Kini sudah saatnya kita sadar, dan segera mengembalikan fungsi kita sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Yaitu, berfungsi memelihara sosial dan spiritual makhluk Tuhan, bahkan memelihara alam semesta dari tangan-tangan jahil. Pastinya, dengan menda'wahkan kebaikan, memberantas kemungkaran dan menyeru pada keimanan.


Dengan ini, maka kita tergolong orang-orang yang terbaik di hadapan Allah (QS. 3:110).

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Kritis Merupakan Kunci Kebahagiaan

Pengajaran pertama yang diajarkan agama kita, adalah bagaimana kita bisa menjadi dan berani bersikap kritis. Sebagaimana kalimat agung yang berbunyi Lâ ilâha illallâh, merupakan pelajaran kritis pertama yang mesti diucapkan setelah diawali dengan keyakinan. Kata yang berarti “Tidak” ini, bisa terucap karena desakan batin yang diawali dengan olah pikir, dan dipadukan dengan jiwa berani, sehingga terucaplah kata tersebut.


Inilah jiwa kritis, ia hadir selalu diawali dengan olah pikir dan keberanian. Sebab tanpa olah pikir, malah akan berbuah penghinaan dan kerusakan. Juga kritis tanpa keberanian, ia tidak akan membuahkan apapun kecuali menjadi titik balik negatif bagi diri, yaitu melahirkan jiwa-jiwa pengecut dan kerdil.


Jiwa kritis kali ini sudah menjadi barang langka, dikarenakan buah dari dikte lingkungan juga karena tumbuhnya jiwa kerdil dalam diri. Akhirnya kita tercebur ke dalam kubangan fatalisme, atau lebih parahnya lagi kita malah merasa nyaman tinggal dalam kubangan ini.


Walhasil, kita jadi tidak jauh beda seperti binatang ternak atau bahkan lebih hina dari itu. Yang secara tidak sadar telah mengalungkan rantai di leher kita sendiri, dengan tujuan supaya mudah digiring orang lain ke arah manapun.


Ada beberapa faktor mengapa jiwa kritis jadi terkebiri: Pertama, jiwa malas berpikir radikal (mengakar), sehingga melahirkan para pemikir instan yang berefek sekejap. Kedua, jiwa fatalis (Jabariyah) yang lahir dari keputusasaan. Ketiga, jiwa individualis, karena mengira kesusahan yang terjadi di luar dirinya tidak akan merugikan dirinya di dunia maupun di akhirat. Keempat, jiwa pengecut yang tidak berani berkorban demi kemajuan bersama.


Menumbuhkan jiwa kritis, berarti peduli akan kemajuan bangsa, kejayaan bersama, izzahnya agama. Adapun jalur yang bisa dimasuki jiwa kritis ini sangat beragam, misalkan jalur ilmu pengetahuan ketika para ilmuan memanipulasinya demi kekuasaan, jalur agama ketika ia sengaja dipolitisir, jalur pemerintahan ketika para penguasa bersikap despotis, atau jalur da'wah ketika ia dimonopoli segolongan orang, dll.


Kritis itu ibarat menjerit di saat kaki merasakan kesakitan karena terinjak kursi, kalau pun tidak sampai menjerit, namun anggota badan lainnya berusaha untuk mengeluarkan kaki dari injakan kursi. Tapi yang jadi persoalan kebanyakan orang, jika "indera rasa" kita sudah hilang, akhirnya kita tidak sadar sedang berada dalam kesakitan.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Jangan Jadi Penonton

Perubahan menuntut kita untuk mengerenyitkan kening, mengusap peluh dan senantiasa bersabar. Karena perubahan merupakan suatu hal yang baru, dan terkadang bisa membuat manusia terkaget-kaget menghadapinya. Perubahan sebenarnya terjadi pada diri manusia dari waktu ke waktu, hari, bulan, tahun dan perubahan lainnya yang terasa ataupun tidak. Semuanya merupakan peristiwa sunatullah yang tidak dapat kita elakkan. Perubahan bisa diidentikkan dengan Hijrah, yaitu usaha merubah kesalahan dan dosa menuju ketaqwaan, seperti sabda Nabi Saw: “dan Muhajir adalah mereka yang berhijrah dari kesalahan dan dosa” (HR. Ibn Majah dan Ahmad)
Dalam bidang ekonomi kita lihat telah mengalami perubahan, dari era agraris, menuju era industri dan sekarang kita berada di era informasi. Begitupun dengan hawa pemerintahan di Indonesia, sudah berubah dari orde lama ke orde baru, dan sekarang menginjak orde reformasi. Perubahan ini terjadi karena pada suatu era mengalami kesalahan dan dosa, maka terjadilah perubahan demi mengejar perbaikan. Begitupun dengan seorang da’i, Jika ia tidak dapat berubah dan mengejar laju perkembangan masyarakat, maka akan terjadi kesenjangan antara da’i dengan mad’unya, baik kesenjangan ilmu pengetahuan, ekonomi ataupun sosial. Sebab dia tidak mampu menjawab persoalan masyarakat maju, sedangkan dia masih saja berkecimpung dengan permasalahan satu atau dua kullah air thaharah.
Arti semua ini, di manapun dan kapanpun makhluk berada, pasti akan mengalami perubahan dari kesalahan dan dosa menuju perbaikan. Namun, yang membedakannya adalah arah dari orientasi sebuah perubahan.

Mengubah orientasi perubahan
Layaknya orang yang akan menembak sasaran, maka dia mesti membuat perhitungan lebih matang dan mengukur tepat atau tidaknya arah senapan. Agar jangan sampai dia salah sasaran, sehingga tidak mengakibatkan kesalahan yang fatal. Perubahanpun membutuhkan perhitungan yang matang dan sasaran jelas sesuai dengan target yang ingin diraih. Karena itu Nabi Saw mewanti-wanti bahwa Hijrah (perubahan) sekarang itu sebatas kesungguhan (Jihad) dan niat (baca: orientasi), sebagaimana sabdanya: “Tidak ada lagi Hijrah setelah kemenangan Makkah, melainkan kesungguhan (Jihad) dan niat” (HR. Ahmad dan yang lainnya). Jadi, orientasi perubahan adalah penentuan diterima atau tidaknya perubahan oleh Allah Swt.
Disini saya akan mengelompokkan tipe manusia yang sedang berubah, dan mereka berhasrat ingin meraih keberhasilan dalam perubahannya sesuai dengan orientasinya masing-masing:
1. Karena Dorongan lingkungan. Tidak sedikit orang berubah bukan atas kehendaknya sendiri. Dia sebenarnya tidak ingin untuk merubah dirinya, tapi karena lingkungan menuntutnya untuk berubah, maka dia terpaksa menuruti perubahan itu. Tipe orang seperti ini tidak buruk jika dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai hasrat untuk berubah, meskipun lingkungan disekitarnya berpengaruh besar untuk merubahnya.
Contoh tipe yang pertama ini sering kita dapati pada teman kita, ataupun pada diri kita sendiri. Misalkan ketika teman-teman kita sedang giat belajar dalam menghadapi ujian semester akhir, tapi kita malah malas-malasan. Akhirnya, karena ujian seminggu lagi, kita dituntut oleh lingkungan untuk merubah sikap tadi. Tipe seperti ini biasanya tidak akan bisa mencapai apa yang diinginkan lingkungannya, meskipun dia bisa mencapainya, dia tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pencapaiannya.
2. Karena dunia. Tipe yang ke-dua ini jika dilihat dari tujuan perubahannya, lebih baik dibandingkan dengan para perubah tipe pertama. Karena tujuan dalam merubah dirinya terlihat jelas, sehingga menuntut dirinya untuk terus berusaha mencapai tujuannya itu. Tapi, yang menjadi catatan penting dari tipe ke-dua ini, dia tidak akan merasa puas jika tujuannya sudah dicapai. Sebab tujuannya dihiasi oleh hawa nafsu duniawi, sedangkan hawa nafsu tidak akan pernah membuat manusia merasa puas. Padahal, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar” (QS. An Nisa:77).
Model tipe ke-dua inipun tidak sedikit telah menjangkit jiwa-jiwa para perubah, karena dunia sering mereka rasionalkan dengan alasan bahwa dunia tidak berbentuk "abstrak", sehingga tujuannnya hanya untuk sesuatu yang jelas dipandang manusia. Padahal pandangan mereka terkaburkan oleh fatamorgana dunia yang indah dipandang mata, tidak kenyang dimakan hawa nafsu, dan tidak kekal dipandangan Tuhan.
3. Karena Allah. Jika kita tau makna dibalik tipe ke-tiga ini, tidak diragukan lagi, saya dan Anda pasti ingin menjadikan tujuan dari perubahannya. Sebab tujuan ini sesuai dengan sebuah adagium "Sekali mendayung dua pulau terlewati", jadi tidak hanya satu yang akan didapat, malahan yang satu ini malah menjadi pintu menuju pintu-pintu kebahagiaan lainnya. Semua tujuan selain tujuan lillâhi ta'ala, akan berbuah kekalahan. Tujuan hidup karena materi, pasti akan kalah karena materi itu akan musnah. Tujuan hidup karena ingin dipuji manusia, juga akan kalah karena manusia akan mati. Tapi tujuan hanya karena Allah, kita akan selalu menjadi pemenang, karena Allah tidak akan mati rahmat-Nya, tidak akan berhenti hidayah-Nya, tidak akan tamat ampunan-Nya.
Tapi sayang seribu sayang, manusia sering kali berpikir serba instan apalagi di jaman yang serba cepat dan siap sedia ini. Mereka tidak mau berpikir jauh yang dapat menghasilkan tujuan yang lebih jauh dari pada tujuan keduniawiannya. Padahal, para perubah yang tangguh itu adalah para perubah yang bisa merubah sifat-sifat keduniwiannya dengan tujuan yang mulia (Mardlâtillâh).

Jangan berlari sebelum berdiri
Teringat ketika kita masih kecil, setelah keluar dari rahim ibu tidak serta-merta kita berlari ingin meraih pelukan ibu. Tapi tahap demi tahap dilalui, dari berbaring, terus merangkak, berdiri dan akhirnya bisa berlari mengejar pelukannya. Semua ini membutuhkan waktu dan kesabaran "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. Al Baqarah:155).
Karena itu, tahapan dari perubahan merupakan suatu keniscayaan. Tapi yang mesti kita catat di awal, sebelum mulai merubah kita mesti melirik pada diri apakah kita termasuk tipe para perubah yang ke-tiga, ataukah tidak?. Jika tidak, cepat tancapkan di hati bahwa hanya Allah lah yang menjadi tujuan kita, setelah itu mari kita mulai berlari setelah berdiri untuk meraih perubahan:
1. Sadar akan kekurangan. Perubahan pasti tidak akan dilakukan jika kita tidak menyadari bahwa dalam diri kita ada kekurangan, sebab dengan sadar pada kekurangan akan mendorong manusia terus berpikir dan berubah. Dan memang benar apa yang dikatakan Harun Yahya bahwa "manusia adalah makhluk yang memiliki banyak kelemahan (kekurangan) dan harus terus-menerus berusaha untuk mengatasi kelemahan tersebut". Usaha inilah yang saya sebut dengan perubahan, yaitu merubah kekurangan dalam diri. Sebab hanya Allah saja yang tidak memiliki kekurangan, Dia tidak akan berkurang ataupun bertambah, jika Dia bertambah maka Dia kekurangan. Allah tetap dengan Kebesaran-Nya, tetap dalam Rahman dan Rahim-Nya serta tetap dalam Asma dan Sifat yang dimiliki-Nya.
Namun kekurangan yang kita miliki ini tidak akan berbuah perubahan, jika kita tidak optimis memiliki prinsip bahwa kekurangan yang ada pada diri kita adalah suatu hal yang dapat dirubah.
Jadi, sebelum menuju anak tangga perubahan, kita mesti yakin bahwa kita memiliki kekurangan, dan kekurangan itu mesti kita rubah. Sebab dengan sadar akan kekurangan diri, maka kita telah menggenggam lima puluh persen menuju kesuksesan perubahan.
Sadar akan kekurangan inilah yang membuat orang-orang biasa menjadi para tokoh besar.
2. Pengorbanan. Perencanaan dalam perubahan memang dibutuhkan, tapi perencanaan ini tidak akan mempunyai hasil jika tidak disertai pelaksanaan dan pengorbanan. Inilah yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw beserta para Muhajirin ketika berhijrah, penuh dihiasi dengan pengorbanan harta, jiwa dan keluarga. Semua ini mereka lakukan agar mendapat karunia dan ridla Allah: "bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar" (QS. Al Hasyr:8)
Hasil dari suatu perubahan tidak akan dapat dikecap indah, jika tidak melalui pengorbanan yang dirasakan.
3. Ridla atas perubahan. Dengan izin Allah, segala tahapan yang kita lewati dalam merubah diri –atau bahkan merubah orang lain- dapat terlaksana. Namun, perubahan yang kita dapati ini pasti akan mengalami cobaan.

Bagian yang sulit
Ujian selalu hadir meskipun tak dikehendaki kedatangannya, sebab ujianpun merupakan peristiwa sunatullah. Walaupun kita sudah melewati ujian yang pertama, ujian kedua sudah mendekati, sedangkan ujian ketiga menunggu giliran. Ujian demi ujian silih berganti, karenanya Allah berfirman:”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?”(QS. Al ‘ankabut:2). Artinya, ujian adalah alat pengukur keimanan dan kesuksesan kita, sebab dengan ujian juga yang menuntut kita untuk terus berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam usaha perubahan, tentu saja tidak akan lepas dari ujian. Sebab dengan ini pula kita bisa melihat berhasil atau tidaknya usaha perubahan yang sedang kita lakukan. Adapun ujian yang sering melanda para perubah diantaranya:
1. Sugesti diri. Tentu saja, jika di awal kita sudah gagal dalam merencanakan perubahan, maka kita sudah merencanakan kegagalan. Perencanaan awal ini sering kali mendapat serangan dari diri kita sendiri, bukannya dari orang lain. Sering kita dengar keluhan “ah, nampaknya saya tidak bisa melakukannya”, atau “nampaknya saya belum siap untuk berubah” dan kata-kata pesimis lainnya yang keluar dari mulut. Sugesti ini sebenarnya terlahir dari ketidak-Pede-an dan “terlalu” mengaca pada kekurangan diri, dia juga suka menganggap bahwa kekurangannya tidak dapat dirubah.
Untuk mengobati penyakit ini, kita mesti banyak mempelajari arti sebuah perubahan, mengaca pada orang-orang yang sudah sukses dalam merubah dirinya dan kita mesti sadar bahwa sifat pesimis hanya didapati oleh orang-orang kafir dalam menghadapi rahmat Allah (QS. Al ‘ankabut:23).
2. Takut terhadap asumsi orang lain. Memang, ada perlunya kita mendengarkan pendapat orang lain. Tapi jika pendapat itu malah menggerus sugesti diri yang sudah kokoh, kita tampung saja pendapatnya atau bahkan kita tidak perlu mendengarkannya. Jika kita terlalu memperhatikan pendapat orang lain, akan muncul ucapan-ucapan yang bisa melemahkan usaha seperti; “kalau saya berubah, saya takut orang lain menjauhi saya” atau “jika saya berubah, saya takut mempengaruhi keuangan saya”. Maka, mulai kita tanamkan sugesti “bagaimana menurut kita”, bukannya menanam perkataan “apa menurut orang lain?”. Jangan takut jika perubahan mengakibatkan teman-teman mulai menjauh, sebab perubahan akan mendatangkan teman-teman yang baru, yang bertaqwa dan yang lebih baik. Mereka akan menerima dan membantu kita, layaknya kaum Anshar menerima dan berkorban dalam membantu para Muhajirin (QS. Al Hasyr:9). Jangan takut walau kita sendiri terasing, bukankah Nabipun bersabda “Berbahagialah orang-orang yang Terasing”, terasing dari lingkungan yang penuh dosa dan kesalahan.
Kalaulah ujian yang kita hadapi bisa mengalahkan usaha yang kita jalani, maka kita tidak boleh lantas menyerah. Beremosilah dengan netral (sabar) terhadap keberhasilan dan kegagalan, karena semuanya merupakan bagian dari permainan dunia, kekalahan mesti membuat kita menjadi semakin pandai dan bertekad bahwa kita bisa bangun kembali. “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu”(QS. Muhammad: 36).
Sudah waktunya kita berubah
Setelah kita sadar akan kekurangan diri, mengetahui tujuan diri dan siap menghadapi ujian, maka sudah waktunya kita untuk berubah. Sebab, meskipun kita enggan untuk berubah, zaman tetap akan berubah. Sedangkan kita malah menjadi penonton yang diam, digulung gelombang kemajuan zaman. Pastinya kita tidak ingin termasuk orang-orang seperti ini, maka mari kita mulai untuk:
Mengubah cara pandang (menjadi). Yakinkan di hati bahwa kita bisa berubah.
Mengubah cara bertindak (melakukan). Mulai gerakkan urat dan otot jiwa kita menuju perubahan.
Mengubah kenyataan (mempunyai). Akhirnya dengan izin Allah, kita bisa merubah kenyataan dan memiliki kenyataan yang lebih baik dari sebelumnya.

Kontemplasi Dengan Tahajjud


Kontemplasi adalah perenungan terhadap diri atau introspeksi atas diri. Dengan kontemplasi, kita bisa mengenal jauh jati diri kita, serta bisa menjawab segala pertanyaan yang terlontar dari rasa kebingungan kita. “Minta fatwalah kepada hatimu” (HR. Ahmad dan Ad Darimi, dengan sanadnya yang Hasan), itulah pesan akurat Nabi kepada kita, agar bisa mengenal apa itu kebaikan (Al birr) dan apa yang dinamakan dosa (Al itsm). Meminta fatwa kepada hati, berarti kita meminta fatwa kepada kebenaran yang ada dalam diri kita, sedangkan kebenaran datangnya dari Allah semata. Jadi kontemplasi bisa kita definisikan sebagai upaya mencari jati diri, dengan cara berdialog bersama kebenaran.
Dengan kontemplasi, kita bisa kembali menyapa “Kebenaran/Taqwa” yang sudah biasa kita cuekkan, dan kita bisa mengobatinya dari siksaan yang selalu kita perbuat (dosa).
Di jaman serba teknologi ini, orang lebih suka hidup serba instant dan tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu, kecuali jika waktu itu terasa nikmat menurut syahwatnya. Mereka berebut datang ke Psikiater, atau tenggelam di bawah lampu diskotik hanya untuk menghilangkan kesusahan sementara saja.
Padahal, 14 abad yang lalu Islam telah memberikan solusi instant kepada manusia yang sedang terserang penyakit stress. Tahajjud merupakan salah satu solusi yang bisa menghilangkan stress tersebut. Di samping kondisi waktunya yang memungkinkan manusia menikmati keheningan, juga memiliki daya besar yang bisa mendorong kita untuk senantiasa berintrospeksi dan menyusun visi-misi hidup (dengan Do’a). Oleh karena itu, dianjurkan untuk memperbanyak do’a di sepertiga malam, disamping do’anya langsung terkabul, juga bisa membantu kita untuk hidup berjalan dengan visi dan misi.
Tahajjud adalah suatu sarana manusia untuk berkontemplasi yang bisa membantu menghilangkan keangkuhan psikologinya. Karena di waktu ini, kita diharuskan merendahkan diri, sehingga kita bisa mengintropeksi segala hal yang membuat kita stress. Sedangkan stress itu kebanyakan datang dari dosa yang telah kita lakukan, sehingga dosa tersebut dapat membuat hati kita bergemuruh –karena kecenderungan taqwa kita menolaknya-, lalu kondisi tubuh menjadi lemas dan pikiran tak menentu. Oleh sebab itu, Ibn Mas’ud berkata “Mari kita beriman dulu sejenak”, agar kita bisa berkontemplasi sekaligus kembali membersihkan hati dari debu-debu dosa, dan ini bisa dilakukan dalam tahajjud kita. Bukankah Allah telah memerintahkan kita agar menyusun target hidup?. Sebagaimana dalam firmannya “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hasyr: 18). Artinya; senantiasa mempelajari pengalaman (memperhatikan apa yang telah diperbuatnya) dengan menyesali dosa yang diperbuat, memprediksi masa depan dengan berdo’a (untuk hari esok), serta bersikap professional dari sekarang dengan bertaqwa pada Allah Swt (dan bertakwalah kepada Allah). Maka, Tahajjud merupakan solusi instan untuk berkontemplasi dalam menyusun target hidup.

Ikhtilaf, Antara Nikmat dan Kemalangan Ummat

Alkisah, ada dua orang pemuda yang sedang menaiki pohon kurma, masing-masing menaiki satu buah pohon kurma. Mereka memuji suburnya pohon kurma sendiri. Tetapi, karena hawa nafsu telah menunggangi hati dan akal mereka, maka sikap mereka beralih menjadi pertengkaran dan saling melempari dengan buah kurma. Orang yang melihat kejadian itu ada yang menertawakan mereka, ada yang senang karena mendapatkan kurma yang berhamburan di bawah, ada yang menghardik, menangis kerena terkena lemparan kurma yang meleset. Akhirnya, kejadian ini malah membuahkan kerugian dan kehancuran muru’ah (kehormatan) mereka.
Analogi kejadian di atas sudah terjadi berlangsung lama di tubuh umat Islam, pertikaian bisa terjadi hanya karena beda pemahaman yang ditunggangi hawa nafsu dan mendahulukan interest pribadi mereka. Akhirnya, umat Islam sendiri yang merasakan rugi, disamping rugi karena tidak mendapatkan nikmatnya ukhuwwah (persaudaraan), juga rugi karena membuat umat Islam menjadi apatis (acuh tak acuh), bingung dan tersiksa, sehingga keterpurukan demi keterpurukan semakin deras menimpa umat Islam. Taqlid dan ta’ashub (fanatis) semakin menghunjam di dada mereka, selanjutnya mereka menjadi umat yang saling mencaci, bertengkar dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya.
Sikap seperti ini bisa merusak muru’ah umat Islam –juga Islam sendiri- di hadapan umat lainnya, maka wajar jika para Orientalis, Missionaris dan orang-orang yang memusuhi Islam menamai agama kita sebagai agama konservatif (terbelakang) dan barbarian (orang yang kasar). Mereka berani mengemukakan demikian karena "baju" Islam demikian adanya, berbeda dengan isi yang diusung agama Islam. Karena itu kita mesti memperbaiki pola pikir mereka dengan cara memperbaiki akhlaq umat Islam itu sendiri.
Allah Swt berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran: 103)
Sebab turunnya ayat ini karena dahulu ada dua kaum yang masih Jahiliyyah dan berperangai kasar, yaitu Aus dan Khazraj. Ketika kedua golongan ini berkumpul dalam satu majlis, lalu dibacakan al Kitab kepada mereka, mereka malah berselisih dan menyerang satu sama lainnya, maka turunlah ayat ini untuk mempersatukan umat Islam dalam tali Allah. Tetapi, kejadian Aus dan Khazraj ini kembali berulang dalam tubuh umat Islam sekarang ini, sebab itu tepat jika ayat ini dibacakan kepada mereka yang sedang berselisih dan berpecah belah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt memerintahkan manusia agar bersatu dan menjauhi perpecahan, karena perpecahan akan membuahkan kehancuran, sedangkan persatuan akan membuahkan keselamatan (Al Jâmi’u Liahkâmil Qur’an, 2002, jil. II, hal. 517). Dengan ayat ini pula, kita bisa mengetahui bahwa Islam sangat memperhatikan persatuan, dan hanya Allahlah yang menabur persatuan di hati manusia (QS. Hûd: 118-119). Maka dari itu, persatuan adalah nikmat yang patut kita syukuri. Kalaupun terjadi ikhtilaf di tubuh umat Islam, hal ini tetap manjadi sebuah kenikmatan, jika ikhtilaf ini masih dalam lingkup persatuan dan persaudaraan.
Problema (baca: perpecahan) yang terjadi dalam diri umat Islam kali ini tidak bisa menjustifikasi kepada haramnya ikhtilaf (selisih pendapat), karena ikhtilaf adalah hal yang lumrah dan fitrah dalam diri dan kehidupan manusia. Dr. Shalih Ibn Ghanim As Sadlan menegaskan dalam bukunya “I’tilâf wal Ikhtilâf, Asasuhu wa Dlawâbithuhu” bahwa ikhtilaf adalah perkara sunatullah, jadi yang merugikan umat Islam itu bukanlah ikhtilaf, akan tetapi sikafp iftiraq lah (perpecahan) yang bisa merugikan umat Islam.
As Sadlan membedakan secara jelas antara ikhtilaf dengan iftiraq, beliau mengutarakan “ikhtilaf adalah kebalikan dari sepakat, artinya tidak ada kesepakatan dalam satu perkara. Sedangkan iftiraq yaitu memisahkan diri dari jama’ah. Iftiraq lebih bahaya, dan iftiraq merupakan buah dari ikhtilaf. Jadi, setiap yang iftiraq pasti ikhtilaf, tetapi tidak setiap yang ikhtilaf itu adalah iftiraq".
Ikhtilaf dibolehkan ketika itu masih berada dalam konteks furu’ ijtihadiyyah (sesuatu yang masih bisa diijtihadi). Ikhtilaf seperti ini sudah ada semenjak jaman Nabi Muhammad Saw, ketika para sahabat hendak menuju Bani Quraidzah. Para sahabat berselisih pendapat tentang ucapan Nabi Saw agar melaksanakan shalat Ashar di Bani Quraidzah, tetapi di perjalanan para sahabat berselisih pendapat mengenai ucapan Nabi ini, sehingga ada sebagian sahabat yang shalat di perjalanan dan ada yang shalat ketika sampai di Bani Quraidzah. Hal yang perlu dicatat dalam kisah ini, bahwa para sahabatpun berikhtilaf, akan tetapi ikhtilaf mereka tidak sampai membuahkan iftiraq, sebab mereka tidak ditunggangi hawa nafsunya.
Ikhtilaf bisa menjadi haram jika sudah memasuki tiga perkara:
1. Perkara Ushul.
Jika terjadi ikhtilaf dalam perkara ini maka ia dianggap kafir. Seperti mempertanyakan dan atau memperselisihkan tentang eksistensi Allah, berpendapat bahwa Allah memiliki anak, dll.
2. Perkara furu’ yang sudah jelas dalil dan hukumnya.
Jika terjadi ikhtilaf dalam perkara ini, maka ia dianggap kafir juga. Seperti berselisih pendapat tentang hukum shalat lima waktu, hukum shaum di bulan Ramadhan, hukum jilbab, dll. Sebab ikhtilaf dalam perkara ini tidak jauh beda dengan tindakan orang Yahudi dan Nashrani (QS. Ali Imran: 105), dan Allah menghukum mereka dengan memberikan keleluasaan hidup di dunia dalam kesesatan (QS. An Nisa: 115). Hukuman ini bisa kita lihat pada kehidupan orang-orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, mereka begitu hidup begitu leluasa dan banyak mendapat sokongan moril dan materil dari musuh-musuh Islam.
3. Ikhtilaf yang diikuti hawa nafsu.
Jika terjadi ikhtilaf seperti ini, maka dia akan dianggap sebagai orang yang sesat (QS. Shaad: 26) dan dia bisa membuahkan iftiraq pada dirinya dan orang lain.
Perkara yang ketiga ini kerap kali terjadi pada diri umat Islam, disebabkan kurangnya ilmu yang dimiliki, bersikap taqlid dan ta’ashub. Jika hal ini terus berlangsung dalam tubuh umat Islam, maka akan lahir orang-orang yang mutatharrif (keras dan kasar), para pencela ulama, Jama’ah Takfir (golongan yang suka mengkafirkan muslimin), dan sikap tercela lainnya. Sikap inilah yang menurut Dr. Sadlan yang bisa menyebabkan muslimin menjadi terpuruk, terpaksa, dan tertekan dalam menjalankan Syari’at agama.
Di dalam menyikapi iftiraq di tubuh umat Islam, maka kita mesti mengajak umat Islam agar mendahulukan persamaan dibandingkan perbedaan, dengan cara menyadari bahwa kita adalah sama-sama muslim dan bersaudara serta sama-sama memiliki dua kemungkinan dalam berpendapat, yaitu mungkin benar dan mungkin salah. Sehingga dengan mendahulukan persamaan dibandingkan perbedaan, bisa melahirkan sikap husnudzân (berbaik sangka) dan kasih sayang di antara umat Islam. Sekalipun terjadi ikhtilaf, hal ini tidak akan sampai melahirkan iftiraq, karena menyadari adanya persamaan kita di awal. Akhirnya ikhtilaf akan menjadi sebuah kenikmatan dan terwujudlah I’tishâm bi hablillâh.Akhirnya penulis mengajak kepada kaum muslimin dengan meminjam ungkapan Ust. Musthafa Masyhur “Tolong menolonglah pada apa yang disepakati, bertoleransilah dalam perselisihan".

Persiapan Sebelum Pertemuan


Tidak seperti biasanya Kang Oded bangun di pagi hari buta, selesai shalat subuh dia asyik mempersiapkan hidangan yang lezat, lalu segera membersihkan dan menghias rumahnya meskipun peluh membasahi tubuhnya. Kemudian ia pergi membersihkan badannya, lalu mengenakan pakaian rapih dan bersih. Dengan senang, tenang dan ikhlas dia melakukan itu semua, karena dia akan didatangi seorang tamu agung yang sudah ia kenal baik kepribadiannya.
Kisah ini sebagai analogi gerak hidup kita di bulan ini dan di hari ini, yaitu bulan Sya’ban. Kita sedang bergerak menuju keikhlasan mempersiapkan seperti ikhlasnya Kang Oded dalam menyambut tamu agungnya. Penyambutan agung ini tidak akan kita lakukan jika kita tidak mengenal siapa tamu yang akan mendatangi rumah kita, akhirnya kita malah lengah dan lalai ataupun sampai menyepelekan tamu agung tersebut. Dan ketika tamu itu mengetuk pintu rumah, barulah kita sibuk menghidangkan dengan hidangan seadanya.
Kondisi lengah dan lalai ini –menurut Nabi Muhammad Saw.- banyak menimpa manusia pada bulan Sya’ban. Sebagaimana dalam salah satu haditsnya riwayat Abu Daud dan An Nasa’i dari Usamah Ibn Zaid berkata kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa satu bulan penuh dari sekian bulan kecuali pada bulan Sya’ban” beliau bersabda “Ini adalah bulan dimana manusia sedang lengah (lalai), yaitu bulan antara Rajab dan Ramadhan, dan dia adalah bulan dimana segala amalan diangkat menuju Tuhan sekalian alam. Dan saya lebih menyukai dalam keadaan bershaum ketika amalanku sedang diangkat”. Sekali lagi, kondisi lalai ini terjadi karena kita tidak mengenal atau bahkan menyepelekan “Tamu agung” (baca; Ramadhan) yang akan tiba. Bulan ini adalah kesempatan besar untuk orang-orang yang senantiasa waspada untuk beramal shalih, karena amalan yang kita kerjakan di saat orang lain dalam keadaan lengah, bernilai besar di hadapan Allah Swt.. Sebagaimana besarnya pahala orang yang berdzikir di pasar, di saat orang lain sibuk transaksi, atau shalat di tengah malam di saat orang-orang tertidur lelap, atau bersabar dalam berjihad di saat orang lain tunduk takluk.
Sya’ban adalah bulannya warming up karena ia cerminan bulan Ramadhan, sebab itu Nabi memperbanyak puasa di bulan Sya’ban agar jasad dan ruh siap menghadapi bulan suci Ramadhan. Kenapa Nabi lebih memilih ibadah puasa di bulan Sya’ban dibandingkan ibadah lain?, karena puasa, disamping Junnah (Perisai/pencegahan) Ruh kita dari penyakit-penyakit spiritual, juga bisa melatih jasad kita sehingga ketika shaum di bulan Ramadhan kita tidak mengalami kepayahan. Sedangkan kondisi payah dan cape sering kali menghasilkan keluh kesah, dan keluh kesah akan melahirkan ketidakikhlasan, pada akhirnya sesuai dengan sabda Nabi “Kerap kali orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali (mendapatkan) rasa lapar. Kerap kali orang yang mendirikan shalat tidak mendapatkan apa-apa kecuali (mendapatkan) bergadang saja" (HR. An Nasa'i dan Ibn Majah).
Lain halnya jika kita tidak mempersiapkan ruh dan jasad di bulan Sya’ban, apatah lagi jika keduanya malahan dilatih dalam kemaksiatan, di samping nantinya jasad kita akan merasa berat di bulan Ramadhan, juga kemaksiatan akan terus menjadi rintangan. Meskipun pada bulan ini Nabi pernah bersabda “Jika datang bulan Ramadhan, maka dibukakan pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggunya syaitan” (HR. Bukhari dan Muslim), tetap saja kita akan terus didatangi kemaksiatan atau bahkan melakukan kemaksiatan di bulan Ramadhan. Karena jiwa-jiwa syaitan sudah menghunjam di akhlaq kita, walaupun syaitan telah dibelenggu oleh Allah Swt.
“Bulan Persiapan” (baca: Sya’ban) ini sangat dimanfaatkan dengan baik oleh para Salafuna Ash Shalih, sehingga amalan ibadah mereka di bulan ini dilakukan sebagaimana mereka biasa amalkan pada bulan penuh berkah. “Bulan Keberkahan” akan mendatangi mereka sehingga persiapan diri di bulan Sya’ban menjadi keikhlasan bukan lagi paksaan, maka ketika pintu bulan Ramadhan ditutup, mereka malahan bersedih bukannya bergembira. Sampai-sampai mereka mengharap dapat bertemu kembali dengan bulan Ramadhan.Pada bulan Sya’ban ini Nabi Saw. -yang telah Allah jamin masuk surga- kerap mempersiapkan dirinya menghadapi Ramadhan, mengapa kita yang tidak?!. Mari mulai persiapan ini dengan memperbanyak ibadah shalat malam, atau shaum sebelum memasuki pertengahan Sya’ban karena menurut Imam Syafi’i tidak boleh berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban bagi orang yang tidak terbiasa shaum sunnat, dengan dalil sabda Rasul “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali jika bagi orang yang biasa berpuasa, maka berpuasalah pada hari itu” (HR. Shahihain). Kemudian mari kita meninggalkan hal-hal yang bid’ah, seperti; melakukan shalat dua belas raka’at antara maghrib dan ‘isya pada hari jum’at pertama di bulan Sya’ban, atau melakukan shalat seratus raka’at dan membaca surat Yaasiin tiga kali di malam pertengahan Sya’ban. Sebab hadits-hadits yang berkaitan dengan yang disebutkan ini berderajat Maudlu’ (palsu) dan Nabi beserta para shahabat tidak pernah melaksanakannya.

Di Balik Mata Kita


Dengannya, kita bisa mentafakuri dunia beserta keindahannya. Dengannya, kita bisa menikmati indahnya warna-warni dan panorama alam semesta. Dengannya, kita bisa meyakini tampan dan cantiknya manusia. Dengannya kita bisa menulis dengan sempurna, juga dengannya saya dan Anda bisa membaca tulisan ini. Dengannya kita bisa bertaqwa, dengannya pula kita bisa berdosa. Siapakah dia ?, dia adalah dua bola mata kita. Allah Swt berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi nereka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A'râf:179)"
Ayat di atas menerangkan betapa pentingnya kinerja tubuh dalam membantu seorang hamba menuju insan bertaqwa. Dan menunjukkan betapa hinanya orang yang tidak bisa memanfaatkan tubuhnya kepada hal-hal yang bisa menambah ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Jika penulis renungi hikmah dari letak kedua bola mata manusia yang berada di depan, serta hikmah diletakkannya posisi otak kecil (sebagai penyimpan memori) yang berletak di belakang kepala, yaitu mempunyai hikmah agar manusia senantiasa berpandangan ke depan melihat jalan hidup yang akan dihadapinya, yang sebelumnya diawali dengan memutar memori kebelakang agar dapat mempelajari pengalaman yang telah terjadi, supaya mendapatkan cerahnya visi dan misi ke depan. Tetapi, kenyataan mesti membatasi visi dan misi hidup kita yang dibarengi dengan ketaqwaaan kepada Allah Swt.
Orang bijak berkata “Mata layaknya moncong anak panah, jika dilepaskan dari busurnya dia akan langung menembus bidikannya”. Artinya, jika mata sudah diberi delegasi oleh hati, dia akan langsung menangkap sasarannya yang kemudian diterima oleh otak belakang (alat penyimpan memori). Akhirnya, dia bisa membinasakan si empunya atau sebaliknya malah memberikan kebahagiaan, semua itu tergantung objek apa yang sedang di lihat. Sebagaimana yang telah Allah Swt pertanyakan sebagai sindiran kepada manusia dalam surat Al balad Ayat 8-10 “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata (8) lidah dan dua buah bibir. (9) Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. 90:10). jadi sekali lagi, semua itu tergantung objek apa yang akan dilihat, sebab Allah telah menunjukkan kepada kita dua jalan.
Ingat, mata adalah indera pertama yang membantu otak dalam menyimpan memori. Jika objek yang dilihatnya adalah kemaksiatan, maka itu akan langsung disimpan dalam memori dan selanjutnya setan akan terus memutar memori tersebut agar manusia terus mengkhayal kemaksiatan. Oleh sebab itu, Allah telah memberi peringatan dalam dua ayat Al Qur’an, yang menegaskan agar manusia menahan pandangannya supaya mereka menjadi suci (QS. Annur: 30) dan supaya manusia mendapatkan keuntungan (QS. Annur:31).
Jika kita renungi juga hikmah dari daya kinerja kedua mata, maka hal ini akan mengantarkan kita agar lebih bersyukur kepada Allah Swt, serta agar bisa melihat keagungan dan kebesaran-Nya. Kita akan lebih bersyukur karena melihat keagungan Allah dari lemahnya daya kinerja indera penglihatan kita, kenapa ?, karena jika daya kinerja mata kita mampu melihat segala sesuatu secara mendetail, maka hidup kita tidak akan terasa tenang, sebab objek yang kita lihat akan terlihat semuanya (secara mendetil). Misalnya, sepeda yang seharusnya terlihat berbentuk sebuah sepeda -jika daya kinerja mata melampaui batas– maka yang terlihat bukanlah sepeda akan tetapi bermilyar-miliyar atom yang berkumpul sehingga membentuk sepeda. Ataupun kita bisa dimakan gorila karena objek yang terlihat bukannya gorila tapi berjuta-juta molekul. Bayangkan, jika mata kita layaknya mikroskop yang bisa melihat benda menjadi lebih besar, sehingga hidupun akan tidak nyaman.
Maha suci Allah Swt yang memberi kita dua bola mata yang sesuai dengan proporsinya. Maka, alangkah bahagianya orang yang dapat menahan pandangan dan yang senantiasa mensucikan matanya dengan air mata yang keluar karena takut pada Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan masuk neraka seorang laki-laki yang menangis karena takut pada Allah, sampai kembalinya susu ke tetek …” (HR.Tirmidzi, beliau berkata Hadis ini hasan shahih). Sabdanya yang lain “Tujuh golongan yang akan dilindungi Allah pada hari tidak ada lindungan kecuali lindungan dari Allah adalah: … dan laki-laki yang mengingat Allah sampai berlinang air matanya" (HR. Mutafaq A'laih). Semoga kita menjadi orang yang tidak mengkhianati nikmat Allah Swt, karena bagaimanpun juga Allah Maha mengetahui mata yang khianat (yaitu mata yang melihat apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya) dan yang disembunyikan oleh hati (QS. Al mu’min: 19).
اللهم إني أعوذبك من شر سمعي و من شر بصري و من شر لساني و من شر قلبي و من شر منيي (أبو داود، وهو حديث حسن)"Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari buruknya pendengaranku, dan buruknya penglihatanku, dan buruknya ucapanku, dan buruknya hatiku, serta buruknya maniku" (HR. Abu Daud, haditsnya hasan).

Setetes Air di Kehausan Ummat

Sungguh, alangkah berartinya setetes air yang jernih bagi orang yang merasakan kehausan yang sangat. Karena, dengannya orang akan terinspirasi serta termotivasi untuk mencari tetesan air berikutnya.
Itulah analogi berartinya seorang da’i yang memiliki azzam kuat dalam berda’wah di tengah-tengah kehausan dan kegersangan keimanan umat. Karena, dengannya akan memberikan kesadaran kepada umat yang lupa akan kehausan imannya, serta dengannya pula umat bisa terinspirasi dan termotivasi untuk terus mencari lautan ilmu Allah Jalla wa ‘ala.
Haus akan keimanan merupakan fenomena yang sedang terjadi di berbagai negara, lebih khususnya di negara kelahiran kita yaitu negara Indonesia yang sedang mengalami degradasi moral -nau’dzubillah-. Hal tersebut terjadi disebabkan tidak pandai dalam mensikapi hal-hal duniawi.
Berbagai bencana terus melanda di negara kita, diawali dari bencana alam dan terus menuju bencana ekonomi, harga sembako semakin naik, BBM semakin mahal, kondisi perpolitikan tidak menentu, dan terus berlanjut menuju mata rantai bencana berikutnya. Itu semua akan terus terjadi jika manusia tidak beriman dan bertaqwa (QS. Al-A’raf: 96).
Sungguh, dengan waqi’ (fenomena) kita sangat membutuhkan sosok da’i yang memiliki azzam kuat yang bisa menggugah manusia agar bisa memutuskan mata rantai bencana yang sedang belangsung. Memang berat dan susah untuk menjadi setetes air yang jernih di tengah-tengah debu yang bertebaran serta lumut yang selalu menghantuinya dari perubahan warna dan bau. Dan begitu pula, sungguh berat untuk menjadi seorang da’i yang militan, yang dikelilingi keduniawian serta dihantui syaitan dari golongan jin dan manusia, yang sewaktu-waktu bisa merubah niat yang dahulu tertanam dengan kokoh.
Oleh karena itu, teramat penting bagi seorang da’i untuk mencari bekal yang banyak sebelum bertandang ke medan da’wah, agar tidak menjadi da’i yang berguguran di medan da’wah. Adapun bekal yang mesti dimiliki oleh seorang da’i adalah:
1. Kekuatan Iman
al-îmânu yazîdu wa yanqush (iman itu bertambah dan berkurang) adalah suatu fitrah manusia yang tertanam dalam hati dan teraflikasikan dalam rutinitas kegiatan. Begitu pula dengan seorang da’i, diapun tidak akan lepas dari naik dan turunnya keimanan. Adapun batas wajar menurunnya keimanan ini, terbatas sampai kita bertaubat kepada Allah Swt atas menurunnya keimanan tersebut, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Saw: tiap-tiap anak Adam itu berbuat banyak kesalahan, tetapi sebaik-baiknya orang-orang yang berbuat kesalahan itu ialah orang yang banyak bertaubat (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah).
Dengan kekuatan iman inilah, seorang da’i mesti menjadikannya sebagai rel da’wah, yang menghantarkan manusia ke mahatthoh (terminal) kebahagiaan kelak. Jika rel da’wah itu melenceng, maka syaitan tidak akan segan-segan mengikutinya sehingga ia sampai menjadi orang yang sesat (QS. Al-A’raf: 175).
Seorang penyair yang bernama Kahlil Gibran pernah berkata “Iman lebih dahulu mengetahui tentang kebenaran dibanding pengetahuan", maka dengan kekuatan iman inilah merupakan awal perjalanan kebenaran dalam berda’wah, yakni dengan jalan mentadaburi dan mengaplikasikan ayat-ayat Allah Swt dan sunnah Rasul. Ingatlah selalu, bahwa dengan kekuatan iman ini bisa menjadi tameng dari para penghalau atau bahkan para penyerang da’wah.
2. Kekuatan Ilmu
“Iman tanpa ilmu sengsara – Ilmu tanpa iman buta", ini merupakan adagium yang memang sudah dan sedang terjadi dalam kehidupan manusia. Bisa kita lihat bagaimana orang yang berkecimpung dalam tasawuf yang sangat memelihara keimanan dan menafikan ilmu keduniawian (khususnya ilmu tekhnologi), mereka hidup dalam kesengsaraan secara duniawi, dan bahkan bisa sampai sengsara secara ukhrawi, karena Nabi pernah bersabda “barangsiapa yang menginginkan dunia raihlah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin akhirat raihlah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin keduanya raihlah dengan ilmu “
Lihat juga bagaimana gundahnya serta butanya hati para filosof barat terdahulu, yang berkecimpung dalam khazanah ilmu, dan menafikan keimanan. Ataupun bisa kita lihat bagaimana kegalauan hati dan kegalauan hidup para insinyur yang sibuk dalam teknologi, sehingga mengabaikan keimanan.
Iman dan ilmu memang memiliki interdependensi yang tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan, karena jika salah satu mengalami keguguran, maka akan hilang suatu keberhasilan. Suatu konsep yang berbunyi ”kebenaran yang tidak ternidzom (terorganisir), akan bisa dikalahkan kebatilan yang ternidzom", adalah logis dan memang kerap kali terjadi. Oleh karena itu, jika da’wah hanya berbekal pada keimanan saja, ia akan dengan mudah dikalahkan oleh penghalang da’wah yang memiliki banyak khazanah keilmuan.
Orang yang berilmu, akan lebih mengetahui hakikat keimanan dan amal shaleh (QS. Al-Qhasas: 80), serta bisa mengetahui hakikat kebenaran akan wahyu Allah Swt (QS. Saba: 6 & Al-Hajj: 64). Juga orang yang berilmu dan beriman, akan lebih mengetahui hari berbangkit (QS. Ar-Rum: 58) dan akhirnya orang yang berilmu dan beriman akan mendapatkan ketinggian derajat (QS. Al-Mujadalah: 11).
Meskipun kita tidak menapikan suatu adagium yang berbunyi “lebih baik seorang yang bodoh tapi jujur, dari pada seorang pandai tapi jahat“, akan tetapi bagi seorang da’i mesti dan wajib memiliki keimanan yang dibarengi keilmuan, demi menghadapi serta menjawab tantangan jaman yang semakin hari semakin bertambah daya keilmuan manusia.
3. Kekuatan Jasad
Rasulullah bersabda “Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah dari pada mu’min yang lemah ……" (HR. Muslim).
Dari hadits ini, kita dapat mengetahui bahwa Allah Swt lebih menyukai mu’min yang kuat, dari pada mu’min yang lemah. Arti kuat di sini mencakup berbagai aspek, aspek jasadpun termasuk di dalamnya. Kekuatan jasad inilah merupakan alat pembantu jiwa untuk memenuhi dan mengaplikasikan keinginannya.
Seorang da’i mesti memiliki kekuatan jasad yang lebih, agar dapat membantu lancarnya perjalanan da’wah, karena seorang da’i mesti siap mengorbankan apapun, termasuk jasadnya.
Banyak kita lihat acara televisi yang menunjukan keperkasaan musuh Allah Swt secara fisik, baik itu dalam acara WCW-WWF ataupun SMACK DOWN, seperti itulah diantaranya sasaran da’wah kita. Bagaimana kita bisa membuktikan kekuatan Islam, jika umat Islam sendiri tidak memiliki kekuatan (secara jasad khususnya).
Tantangan da’wah itu tidak selamanya berbentuk pemikiran (Ghazwul Fikri), akan tetapi bisa jadi sewaktu-waktu berubah menjadi tantangan secara fisik dari musuh Allah. Dan bagaimana seorang da’i menjawab tantangan tersebut ?!, syair arab mengatakan “Alhadîdu bil hadîdi yuflah” (besi dengan besi lawannya), artinya, seorang da’i mesti siap melawannya dengan jasad. Karena Nabi dan orang yang berimanpun, dahulu mereka berjihad dengan harta dan diri mereka (QS. At-Taubah: 88).
4. Kekuatan Harta
Rasulullah bersabda “sesungguhnya Allah mencintai kepada hamba yang berbakti, kaya, yang tersembunyi" (HR Muslim). Hadits ini menyebutkan bahwa Allah mencintai orang -yang salah satunya- orang yang kaya.
Dari hadits tersebut, akan timbul satu pertanyaan “Mengapa Allah hanya mencintai orang kaya saja padahal Allah sendiri yang menentukan rizki seseorang (QS. Ali Imran: 27 & Al Isra: 307)?" saya jawaba: memang, Allah lah yang memberi rizki manusia, karena Dialah sebaik-baik pemberi rizki (QS. Saba: 397), dan memang Allah pula telah menetapkan rizki seseorang, hal ini Allah maksudkan agar manusia tidak melampaui batas di muka bumi ini (QS. Asy Syura: 27). Sedangkan mengenai masalah mengapa Allah lebih mencintai kepada orang yang kaya?, ini dimaksudkan karena rizki tersebut sudah semestinya manusia jemput, agar terlaksananya cita-cita kaya tersebut, dan Allah lebih mencintai usaha manusia ke arah sana, hal ini Allah tegaskan dalam surat (QS. Al Jum’ah: 10) agar manusia bertebaran di muka bumi untuk menjemput keutamaan Allah. Dalam Al Jâmi’u Li Ahkâmil Qur’an (Imam Al Qurthubi) mengartikan makna keutamaan Allah dengan Rizki Allah.
Bekal da’wah dengan kekuatan harta ini, telah gencar dari dulu dipakai oleh para missionaris dalam rangka pemurtadan umat Islam, dan hasilnya sungguh memuaskan bagi mereka. Memang benar, orang banyak mengatakan bahwa "Harta bukanlah hal yang utama", tapi perlu diingat bahwa harta sering kali mengiringi hal yang utama. Oleh karena itu, bagi seorang da’i sangatlah diperlukan memiliki kekuatan harta, supaya harta tidak menjadi penghalang dalam berda’wah ataupun sampai da’wah dijadikan ladang mencari harta.
Sudah menjadi tugas, agar berbekal banyak demi jalan da’wah yang akan dijalani. Berbekallah yang banyak akan kekuatan Iman, Ilmu, Jasad dan Harta, semoga dengannya kita bisa membuktikan Izzah Islam Wal Muslimin. Layaknya seorang petani yang berbekal tekad (Kekuatan Iman), ilmu pertanian (Kekuatan Ilmu), badan yang fit (Kekuatan Jasad) dan peralatan kebun (kekuatan Harta) sebelum menggarap ladang. Dan selalu ingat, ladang da’wah sangatlah luas, sedangkan hama da’wah telah siap menyergap serta merusak ladang da’wah Anda. Teruslah berusaha, meskipun rintangan dan kegagalan telah kita rasakan.Ingatlah pula, bahwa di pundak kita tertumpu harapan dan amanah umat. Jadilah kumpulan tetesan air yang jernih, sehingga menjadi kolam yang bisa menghilangkan kegersangan dan kehausan hati umat.

Saum, Solusi Pemuda Lajang


Alkisah, ada seorang pemuda yang asyik dengan “Dugem" nya (dunia gemerlap), terkadang ditemani dengan wiskynya dan bahkan dengan obat-obatan yang hanya membuat kesenangan sesaat, pada akhirnya badan menjadi kurus, gigi hitam, dan mata layu. Dikisah lain, terdapat seorang pemuda yang terasa nikmat dengan pengajiannya, hati senantiasa terkait pada mesjid, dirinya selalu ditemani mushaf kecil, dia memelihara diri, harta, keluarga serta agama, dan hal-hal lain yang membuat ketenangan dunia dan akhirat.
Kalau kita mau jujur dan bertanya pada diri, pemuda manakah yang akan kita pilih untuk dicontoh dan ditemani ?, pasti jawabanya tertuju pada pemuda yang kedua. Tapi, fenomena yang terjadi malah berbalik, tidak sedikit pemuda yang mengaku muslim tenggelam dalam kedustaan pada diri, kedustaan itu menguasai dirinya, kemudian menjalar pada gambaran perilaku yang membenarkan kedustaan tersebut, sehingga dia berbuat kemaksiatan semisal.
Pemuda adalah harapan bangsa dan agama, benteng kebangkitan umat, penerus risalah da’wah, pemuda juga merupakan generasi pengganti…...itulah diantara doktrin-doktrin yang selalu dikonsumsikan para pendahulu kita kepada para pemuda dari zaman kezaman. Hal tersebut seolah menjadi suatu keharusan atau konsekwensi moral bagi siapa saja yang menamakan dirinya sebagai seorang pemuda. Padahal, di sisi lain pemuda merupakan suatu masa perkembangan dengan tahapan psikologi yang mengarah kepematangan diri. Diawali dengan perubahan gharizah (hasrat atau kebutuhan psikologi). Dalam menghadapi setiap gharizah tersebut, pemuda pasti menemukan problem yang sangat besar, jika tidak pintar menyikapinya, maka pintu perbudakan diri terhadap gharizah akan terbuka.
Di abad ini, Angka perbudakan diri pada gharizah semakin bertambah. Pornografi dan pornoaksi seakan sudah menjadi rahasia umum. Tingkat pemerkosaan semakin bertambah, perzinaan meningkat, kumpul kebo menjadi trend, pacaran sudah menjadi kebutuhan, pekerja seks semakin membludak. Sumber resmi pemerintah mengatakan bahwa jumlah pekerja seks di Indonesia mencapai 73.990 orang. Tetapi sumberlainnya mencatat bahwa di Indonesia sedikitnya ada 650.000 penjaja seks dan 30 persennya berusia di bawah 18 tahun (majalah Tarbawi, edisi 16 oktober 2003). Yang menjadi pertanyaan kita kali ini, apa yang menyebabkan semua ini terjadi ?, pasti jawabannya akan beragam karena perbudakan gharizahnyapun beragam. Yang pasti ini terjadi disebabkan manusia tidak pintar menyikapi suatu masalah.
Supaya penyakit perbudakan gharizah ini tidak menjalar di dalam diri kita selaku pemuda, maka untuk mengcounter itu semua jauh-jauh hari Rasulullah Saw telah memberikan solusi pengobatan sebagaimana sabdanya: “Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena hal itu akan menundukan pandanganmu dan memelihara kemaluanmu. Jika belum mampu (untuk menikah) maka shaumlah , karena itu adalah tameng” (HR. Mutafaq A'laih)
Maka jelaslah bahwa solusi awal untuk mengcounter perbudakan gharizah adalah dengan menikah, karena dengan cara ini pintu-pintu fitnah bisa semakin menyempit dan bisa mengarahkan gharizah pemuda kearahan yang halal. Namun bagi pemuda yang belum siap untuk menikah, maka Nabi Saw memberikan solusi ke dua yaitu dengan melakukan shaum.
Shaum, disamping dapat menghasilkan pahala yang sangat besar juga merupakan pengobatan untuk membersihkan usus, membersihkan badan dari keringatan yang kotor, menghindari kegemukan dan kelebihan lemak, serta yang tidak kalah pentingnya yaitu pengobatan bagi gharizah yang sedang menyala-nyala sehingga bisa meringankan tuntutannya, yang akhirnya kita bisa menguasai gharizah tersebut.
Shaum adalah ibadah yang tidak mengenal batasan tempat dan keadaan, serta memiliki limit waktu yang sangat panjang di bandingkan ibadah mahdlah lainnya. Sehingga hal ini menutut Shâimîn berjalan selama waktu yang ditentukan bersama ingatan shaum (dan larangannya). Jadi dengan ini bisa membuat seseorang terus merasakan dirinya dalam keadaan ibadah, sehingga menuntutnya untuk menjauhi hal-hal yang membatalkan ibadahnya.
Akan tetapi, solusi shaum ini tidak akan membuahkan hasil jika si Shaim masih dekat dan bergaul dengan orang yang dapat membuat benteng pertahanan gharizahnya ambruk. Sehingga pelaksanaan shaumnya tidak membuahkan hasil baik secara pisikologis maupun u'budiyah, melainkan membuahkan rasa lapar dan dahaga saja. Sebagaimana sabda Rasulullah “Kerap kali orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali (mendapatkan) rasa lapar. Kerap kali orang yang mendirikan shalat tidak mendapatkan apa-apa kecuali (mendapatkan) bergadang saja" (HR. An Nasa'i dan Ibn Majah)
Maka untuk menghindari gagalnya shaum tersebut, berikut pemecahannya:
1. Bertekad, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membuat benteng pertahanan gharizahnya runtuh. Seperti; membuang majalah dan gambar-gambar yang seronok, atau vcd porno, serta menjauhi teman yang suka melakukan tindakan tersebut.
2. Menyibukan diri dengan hal-hal yang bermanfaat seperti mengikuti Jilsah I'lmiyah dan Imaniyah, olah raga dan lain sebagainya.Semoga dengan solusi yang disodorkan Rasulullah ini, I'zzah para pemuda menjadi kembali dan mereka menjadi generasi pengganti bukannya generasi yang diganti. Sehingga mereka layaknya para pemuda Ashâbul kahfi “...Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk;” (QS. 18:13).

Pemuda, di Mata Intelektual & Moral


Teks Sumpah Pemuda yang dahulu dibacakan oleh para pemuda Indonesia, seakan-akan menegaskan bahwa pemuda adalah aspek terpenting bagi kehidupan bernegara, karena pemuda merupakan tiangnya negara yang mesti siap menahan tonggak kesejahteraan bangsanya. Jika moral dan intelektual pemuda tidak bisa memberikan banyak pengaruh terhadap kemajuan bangsa, maka kondisi bangsa tersebut tinggal menunggu keterpurukannya. Tetapi keterpurukan ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh para pemuda, akan tetapi para orang tuapun ikut andil di dalamnya, karena orang tua adalah pengayom dan tauladan bagi para pemuda. Jika orang tua memberikan tauladan yang jelek kepada mereka, maka mereka akan mengikutinya juga, sehingga keterpurukanpun terus berlangsung hingga adanya reformasi pemikiran dan moral.
Perjalanan setiap generasi dalam suatu bangsa tidak akan pernah terputus, keberlangsungan generasi tidak hanya berkutat di dalam pertumbuhan penduduk dunia, akan tetapi akan sampai memasuki zona keberlangsungan moral dan intelektual manusia. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh jaman dan perubahan pola pikir manusia yang semakin hari semakin pesat laju perkembangannya. Adapun keberlangsungan ini tidak akan terlepas dari dua mata rantai generasi, yaitu orang tua dan pemuda.
Pemuda adalah generasi kedua yang akan menggantikan generasi pertama (baca: orang tua), oleh karena itu tauladan generasi pertama sangatlah berpengaruh bagi kemajuan bangsa di masa mendatang. Jika semakin banyak taudalan “Jiwa Perusak” yang diberikan generasi pertama kepada generasi kedua, maka kerusakan akan melanda suatu bangsa, bahkan kerusakan itu bisa berskala lebih besar lagi. Suatu adagium mengatakan “Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari” adalah sering terjadi, karena yang diberikan kepada para murid hanya berbentuk pengajaran semata, tidak memberikan “pendidikan/Tarbiyah”. Padahal dengan tarbiyah ini tidak hanya bisa mengubah kemunduran intelektual pemuda, akan tetapi juga bisa mengubah kebejatan moral para pemuda.
Jika mengenang kembali peran pemuda pada jaman penjajahan, kita akan kembali mengingat kebesaran jiwa dan pengorbanan para pemuda bagi kemerdekaan bangsa dan bagi pertahanan aqidah mereka. Mereka tidak hanya mengandalkan fisik untuk melawan penjajah, akan tetapi merekapun menggunakan intelektualitas demi mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Jiwa intelektual mereka bukanlah berdiri di atas genangan air, akan tetapi jiwa intelektual mereka berdiri di atas tonggak moral yang dididik langsung oleh pendidikan Islam. Dan yang terpenting adalah, mereka memiliki kesatuan sasaran musuh yang mesti dihadapinya, yaitu “Penjajah”, sehingga gerak perjuangan mereka menjadi lebih jelas.
Mari kita tinggalkan nostalgia perjuangan pemuda dahulu, sekarang kita meneliti sejauh mana peran para pemuda abad ini dalam membangun bangsanya. Kita akan mengukur mereka dengan dua hal, yaitu Intelektual dan Moral, sebagaimana kita telah mengukur pengorbanan para pemuda pada jaman penjajahan dengan dua hal tersebut. Karena, dengan Intelektual dan Moral orang bisa lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang bodoh dan amoral, dan hal ini sedikit-banyak akan mempengaruhi stabilitas kesejahteraan suatu bangsa. Kedua hal ini tidak bisa dikesampingkan salah satunya, karena keduanya saling berkaitan erat dalam meraih kesuksesan. Jika intelektual saja yang dicari, maka ia tidak jauh layaknya robot yang pintar, dan jika moral saja yang dipupuk maka ia akan terus diperbudak oleh robot.
Para pemuda pada abad ini telah memasuki era pasar bebas yang memiliki berbagai penunggang. Baik penunggang yang memiliki tujuan baik ataupun buruk, dan pasar bebas ini akan semakin menguntungkan bagi globalisasi negara adi kuasa, dari pada negara yang masih melakukan dekonstruksi ekonomi dan perpolitikan. Oleh karena itu, segala produk barat yang berupa komoditi dan yang berupa immaterial, yaitu kebudayaan dan pemikiran-pemikiran asing, begitu mudah memasuki ranah masyarakat Indonesia, karena rakyat Indonesia masih memiliki jiwa konsumen. Jiwa ini muncul karena kurangnya penggodokan dari generasi pertama kepada generasi kedua mengenai Intelektual dan Moral, akhirnya budaya barat –yang bertolak belakang dengan budaya Indonesia– dapat menguasai pemikiran dan akhlaq/moral para pemuda.
Hal di atas malah menjadi “penjajahan baru” bagi bangsa Indonesia, mereka dijajah dengan pemikiran dan dengan moral Barat. Para pemuda menjadi megalomaniak dengan memakai budaya Barat, dan seakan-akan budaya Barat menjadi hal yang mengikuti kemajuan jaman. Tawuran mereka jadikan ajang kepahlawanan, sampai-sampai dua puluh satu sekolah di Jakarta kegiatan diluar sekolahnya hanya melakukan tawuran. Hubungan intim diluar nikah menjadi trend para ABG, Sahara Indonesia Foundation mengumumkan hasil polingnya bahwa sedikitnya 38.288 remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah melakukan hubungan intim atau seks bebas diluar nikah (Sabili. 27 Agustus 2004 hal. 60). Angka poling ini laksana gunung es, yang hanya terditeksi bagian atasnya saja sedangkan yang tidak terditeksi masih banyak lagi .
Serangan pemikiran (Ghazwul Fikri) dan serangan kebudayaan (Ghazwuts Tsaqâfi) akan terus-menerus dilancarkan oleh Barat, sedangkan pemuda Indonesia akan terus menerima serangan tersebut, jika jiwa konsumer dan kebodohan masih dipegang kuat oleh mereka. Serta, penjajahan pemikiran dan penjajahan kebudayaan ini akan terus berlangsung, jika para generasi pertama tidak memberikan pendidikan dan tauladan yang baik bagi mereka. Padahal, para pemuda dahulu bisa tetap kuat dalam hal pemikiran dan moralnya, karena masih memegang kebudayaan Indonesia yang lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam.Oleh karena itu, generasi saat ini mesti memiliki jiwa intelektual dan moral yang tinggi, serta mesti menghapus jiwa konsumerisme dan menggantinya dengan memberikan kontribusi yang baik kepada negara berupa intlektual dan moral. Serta yang terpenting adalah, memiliki kesatuan sasaran musuh yang akan dihadapi, yaitu; "Keterpurukan Intelektual dan Degradasi moral bangsa". Pengajaran ini sudah tercakup dalam satu agama, yaitu agama Islam. Sebab itu, peganglah Aqidah kita jangan sampai terlepas, agar kita menjadi generasi pengganti bukannya generasi yang diganti. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum (sebagai pengganti) yang Allah mencintai mereka, dan merekapun mencintai-Nya…..” (QS. Al Mâidah: 54).

B O N Y O K


Sejenak kita membayangkan, bagaimana rupa orang yang baru dipukul dengan bertubi-tubi, seketika wajahnya berubah menjadi lebam dan sudah tidak dapat dikenali lagi. Bonyok, itulah kira-kira sebutan baginya. Dan, seperti ini analogi kondisi bangsa kita saat ini, yang sudah lama merasakan kemerosotan nilai-nilai penting yang semestinya dipertahankan oleh setiap masyarakat. Nilai-nilai tersebut seakan-akan sudah tidak dihiraukan lagi kepentingannya, disebabkan sudah terbiasanya hidup dalam keterpurukan. Layaknya tukang sampah yang sudah tidak menghiraukan lagi rasa bau dan kotornya sampah.
Bagaimana dengan kita, sebagai generasi penerus bangsa dalam mensikapi keterpurukan Indonesia?!. Nilai-nilai penting yang mengangkat derajat dan kesejahteraan rakyatnya sudah hampir hilang. Nilai-nilai yang saya maksudkan adalah nilai politik, nilai ekonomi, dan nilai sosial-budaya negara kita. Dalam istilahnya Kuntowijoyo nilai-nilai ini disebut dengan etika, dan etika inilah yang biasa menetapkan pandangan mengenai suatu hal yang benar ataupun salah.
Sedikit menilik nilai-nilai politik Indonesia yang sudah bonyok dihantam kediktatoran dan otoritarianisme orde lama dan orde baru. Rakyat dipaksa menuruti semua kebijakan-kebijakan pemerintah, sekalipun bertentangan dengan agama dan budaya. Pada masa orde reformasi, pemerintah telah membohongi rakyat dengan menggunakan kedok reformasinya. Yel-yel yang dulu digaungkan para mahasiswa dan harapan-harapan yang diangkat rakyat Indonesia sudah tidak dihiraukan lagi, dengan alasan reformasi yang mereka persepsikan sebagai “kebebasan” di segala bidang. Terwujudnya Good and Clean Governance (pemerintahan yang baik dan bersih) di negri ini seakan-akan telah menjadi utopia yang mengakar kuat dalam benak masyarakatnya. Lalu, akan dibawa kemanakah kita pada pemerintahan SBY kali ini ?!.
Nilai-nilai ekonomi bangsa inipun sudah lebam dipukuli dengan pencurian dan perampokan massal, dimulai dari birokrat terendah sampai elit politik paling atas, dari orang bodoh sampai orang terdidik. Mereka mencuri ataupun memeras uang rakyat dengan kapasitas yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kedudukannya. Sebab itulah negara kita menduduki tingkat atas dalam hal korupsi. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa nilai-nilai ekonomi kita sudah lama disetir oleh IMF dan negara-negara adikuasa, kita tidak dapat bergerak leluasa karena memiliki hutang materil sekaligus hutang budi kepada mereka. Sehingga sering kali kebijakan-kebijakan politis pemerintah Indonesia diintervensi bangsa asing.
Nilai-nilai sosial-budayapun sudah takluk oleh hawa nafsu manusia yang terlahir dari ketidakberdayaannya para orang tua, tokoh masyarakat, ulama dan pemerintah di dalam memberikan nasihat secara qauli dan fi’li. Jiwa gotong-royong dan musyawarah yang sedari dulu dielu-elukan bangsa kita -bahkan sudah menjadi tipikal masyarakat Indonesia-, kini sudah keropos dimakan rayap-rayap individualisme. Sosial-budaya kita sudah kalah dihantam Budaya barat, sehingga budaya barat seakan-akan menjadi suatu hal yang mesti diikuti para pemuda. Loncatan budaya free sex-pun sudah melejit begitu tinggi, sehingga banyak hasil polling yang membuat kita mesti mengurut dada. Buku-buku yang menyingkap budaya free sex, seperti buku “Sex In The Kost” dan “Jakarta Under Cover”, bukannya menjadi bahan renungan dan menjadi solusi problem, akan tetapi malah menjadi suatu “kebanggaan” dan menjadi buku semi porno yang berkedok perjuangan moralitas. Kalaulah para penulis tersebut sadar, pasti mereka cukup menuliskan gambaran umum budaya free sex yang menjangkit para pemuda, bukan malah membahasnya secara mendetail tanpa melihat efek negatifnya.
Dengan melihat kondisi bangsa kita saat ini, sering kita mendengar selentingan emosi yang keluar dari sekelompok orang yang menyerukan "potong satu generasi !", maksudnya menyerukan agar menghapus satu generasi yang sudah tidak bisa lagi diobati dari penyakitnya yang sudah akut. Pikiran ini terlahir dari cara berpikir mereka yang instant yang dibidani oleh rasa kepesimisan dan kepragmatisan mereka.
Oleh karena itu, mari kita sadar dan kembali kepada agama yang mengajarkan nilai politik egaliterianisme (kesederajatan) antar pemerintah dengan rakyat (QS. 49: 13), serta yang memerintahkan kepada nilai ekonomi yang jujur dan yang memelihara keamanan harta rakyat (QS. 2: 188). Juga memerintahkan kepada nilai-nilai sosial-budaya yang berakhlaqul karimah (QS. 5: 2).Ajakan kembali kepada agama ini bukan berarti mengajak manusia agar kembali pada Dark Age (masa kegelapan) dimana agama Kristen menguasai seluruh aspek kehidupan manusia sehingga menghancurkan peradaban dunia, akan tetapi ajakan ini adalah ajakan kepada Renaisans/Tanwiir dimana agama Islam menerangi seluruh aspek kehidupan manusia.

Merakit Sosok Pemimpin Ideal


Di dalam hukum internasional, suatu kumpulan masyarakat tidak akan disebut sebagai Negara jika tidak memiliki tiga aspek penting, yaitu Daerah, Penduduk dan Pemerintahan. Ada yang menambahkan juga bahwa Negara akan diakui sebagai Negara jika mendapat pengakuan dari Negara lain, sebagaimana dahulu Indonesia diakui kemerdekaan dan kenegaraannya oleh Negara Republik Mesir. Akan tetapi, syarat yang terakhir ini tidak sepenting ketiga syarat di awal. Yang akan penulis garis bawahi di dalam pembahasan kali ini adalah mengenai aspek "Pemerintahan", karena dengannya bisa mempersatukan penduduk –baik dalam satu pulau atau berbagai pulau- agar hidup teratur dan damai.
Dalam literature Islam terdapat suatu perintah yang lebih luas keberbagai aspek kehidupan bersosial. Islam tidak hanya memerintahkan agar memilih seorang pemimpin pemerintahan yang memiliki berjuta-juta penduduk, akan tetapi Islam juga memerintahkan agar memilih pemimpin meskipun hanya berjumlah tiga orang. Oleh karena itu, Islam memiliki konsep yang integral dari pada konsep-konsep manusia, sebab Islam tidak mengenal slogan-slogan sekulerisme seperti "Agama untuk Tuhan, Negara untuk masyarakat" atau "Satu hari untuk Tuhan, enam hari untuk manusia".
Tujuan Islam memerintahkan agar mengangkat seorang pemimpin, adalah supaya denganya bisa menyempurnakan misi kehidupan bersosial yaitu Amr ma'ruf (memerintahkan pada kebaikan) dan Nahyi munkar (mencegah kemungkaran). Dengan ini, Islam ingin menjelaskan agar lebih bersikap selektif dalam memilih seorang pemimpin yang ideal. Dan pemimpin ideal itu adalah pemimpin yang bisa mendekatkan diri yang dipimpinnya kepada Tuhan.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul "As Siyâyah Asy Syar'iyyah fi Ishlâh Arrâ'i wa Ar Râ'iyyah" mencoba mengklasifikasikan sosok pemimpin dalam suatu kaum, dimulai dari kelas yang paling bawah:
1. Pemimpin yang arogan dan yang menginginkan terjadinya distorsi di muka bumi.
Sifat yang seperti ini telah melekat kuat dalam diri Fir'aun, dia berbuat lalim di muka bumi, mengaku dirinya sebagai Tuhan, menumbuhkan disintegrasi bangsa, menindas manusia dan menyembelih anak laki-laki (QS. Al Qashash: 4). Sifat seperti inipun telah banyak melekat dalam diri para Fir'aun kontemporer, sebut saja George Bush yang suka memperlihatkan arogansinya dengan membantai umat Islam di Afghanistan dan Iraq. Tunggulah tenggelamnya para pemimpin seperti ini di lautan kehancuran.
2. Pemimpin yang menginginkan terjadinya distorsi di muka bumi, tapi tidak bersikap arogan
Sifat pemimpin seperti ini telah kenyang dirasakan masyarakat Indonesia, contohnya para koruptor. Mereka membuat rakyat kelaparan, ekonomi menjadi terpuruk, hutan-hutan "digarong", serta menciptakan degradasi moral di kehidupan masyarakat.
3. Pemimpin yang arogan, tetapi tidak berbuat distorsi bangsa
Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang selalu memarginalkan seseorang atau kaum yang merugikan dirinya. Dengan adanya sifat ini dalam diri pemimpin, maka akan melahirkan para penjilat dan Intihâziyyah (opportunis) di masyarakat.
4. Sifat ahli surga, yaitu yang tidak arogan dan tidak menginginkan distori di muka bumi (Al Qhashash: 83)
Sifat seperti ini telah tertanam begitu dalam pada diri Khulâfa'ur Râsyidîn yang dididik langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka bersikap tawadlu', lebih mementingkan kemashlahatan orang lain atau rakyat dari pada kepentingan diri dan keluarganya, juga mereka tidak memarginalkan, meminjam istilah Marx, kaum proletariat dan kaum kapitalis.

Kelas pemimpin yang ke-empat ini adalah kelas yang sedang dicari oleh rakyat yang mencita-citakan keadilan dan kesejahteraan hidup. Pemimpin yang seperti ini begitu mahal untuk ditampilkan, karena para pemimpin sekarang terlalu mendahulukan sikap Wahn (cinta dunia dan takut mati).
Oleh karena itu, Islamlah solusi semua permasalahan umat manusia, sebab Islam adalah agama yang integral, mencakup keberbagai sendi-sendi kehidupan. Sehingga, dalam memecahkan permasalahan pemimpinpun Islam telah menyajikan solusi yang jitu, dengan menawarkan kriteria pemimpin yang ideal, diantaranya:
1. Muslim
Orang yang berhak duduk di tampuk kekuasaan adalah mesti seseorang yang beragama Islam. Sebab, hal ini di samping suatu perintah Allah (QS. Ali Imran: 28), juga merupakan suatu janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh yang akan memegang kekuasaan (QS. An Nûr: 55, Al Ahzab: 27).
2. Mukallaf
Orang yang bisa memimpin suatu masyarakat yaitu orang sudah yang mukallaf, yaitu orang yang sudah bisa dibebani tugas syari'at, seperti; orang yang sudah baligh, berakal dan merdeka (bukan hamba sahaya).
3. Berilmu
Seorang pemimpin yang mampu mengemban amanah Tuhan, adalah seorang pemimpin yang memiliki kemampuan ilmu yang luas. Bahkan Said Hawwa lebih mengkhususkan kriteria ini dengan mensyaratkan bahwa seorang pemimpin itu mesti memiliki kemampuan ilmu yurisdiksi Islam. Ini dimaksudkan agar seorang pemimpin itu tidak menjadi seorang yang pengecut di hadapan musuh-musuhnya.
4. Adil
Keadilan adalah suatu hal yang sangat dicita-citakan oleh semua manusia. Oleh karena itu, tidak akan ada suatu masyarakatpun yang menginginkan pemimpinnya berbuat dzalim (tidak adil), termasuk Allahpun tidak akan memberikan amanah kepemimpinan kepada orang yang berbuat dzalim (QS. Al Baqarah: 124).
5. Laki-laki
Laki-laki adalah makhluq yang memiliki pertimbangan yang matang dalam memutuskan suatu perkara, karena mereka tidak terlalu mendahulukan emosinya, juga gerak kerja mereka lebih fleksibel dibandingkan perempuan. Beda halnya dengan perempuan, kerja mereka dibatasi fitrahnya sebagai wanita, seperti ada halangan hamil, melahirkan, sehingga kerja mereka banyak terbatasi, dan juga mereka selalu mendahulukan emosi di dalam memutuskan suatu perkara. Di samping itu Islam juga tidak membenarkan seorang wanita menjadi seorang pemimpin.
Kepemimpinan wanita ini memang telah ada pada jaman Rasulullah Saw, yang pada waktu itu ada seorang putri seorang raja Kisra yang menjadi pemimpin di Farsi. Ketika Nabi mengetahui hal ini, maka beliau langsung bersabda "Tidak akan bahagia suatu kaum jika dipimpin oleh seorang wanita" (HR. Bukhari)
6. Sehat jasad
Seorang pemimpin mesti memiliki jasad yang prima dan panca indera yang sempurna, sebab rakyat tidak akan rela jika melihat pemimpinnya sering keluar negri hanya untuk urusan pribadinya (berobat) dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Sebagaimana Allah Swt telah memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin yang sehat jasad (QS. Al Baqarah: 247)
7. Orang Quraisy
Quraisy adalah suatu kabilah yang berada di Makkah, Nabi memerintahkan agar memilih seorang pemimpin itu dari bangsa Quraisy, sebagaimana sabdanya dalam hadits riwayat Hakim, Baihaqi, Ahmad dan Nasa'i "Seorang pemimpin itu dari orang Quraisy". Dari hadits ini beliau mencoba menjelaskan bahwa orang Quraisy lebih berhak untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin, karena mereka mempunyai sikap penyayang, jika mereka berjanji ditepati, dan jika menghakimi mereka adil (sebagaimana dalam HR. Ahmad, Nasa'i dan Abu Ya'la).
Akan tetapi, jika dalam suatu Negara atau suatu kelompok tidak terdapat orang Quraisy, maka dibolehkan memilih seorang pemimpin selain dari bangsa Quraisy. Hal ini sesuai dengan apa yang diinginkan Umar Ibn Khattab, ia berkata "Jika aku sudah meninggal dan Abu Ubaidillah masih hidup, aku akan meminta dia menggantikan posisiku, tapi jika aku sudah meninggal dan Abu Ubaidillah sudah meninggal juga, maka aku meminta Mu'adz Ibn Jabal menggantikan posisiku". Dalam permintaan Umar ini ada nama Mu'adz Ibn Jabbal yang diminta untuk menggantikan beliau dan Ubaidillah jika sudah meninggal, padahal Mu'adz bukan dari golongan Quraisy. Jadi, kita boleh memilih pemimpin selain dari kabilah Quraisy jika mereka tidak ada, namun yang terpenting adalah memilih pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepemipinan bangsa Quraisy.Ketujuh kriteria ini tidak akan susah untuk kita cari, akan tetapi yang susahnya yaitu bagaimana agar orang yang memiliki ketujuh kriteria ini terdaftar menjadi calon pemimpin. Jika kita melihat pola pemilihan pemimpin di negri kita, maka kita mesti bergabung dan menyatukan suara untuk memilih pemimpin yang siap mengemban amanah rakyat, dengan memilih partai yang berasaskan Islam. Semoga kita dapat memiliki pemimpin yang bisa menyelesaikan keterpurukan-keterpurukan rakyat, dan bisa menuntun rakyat agar mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Ini semua akan terwujud dengan adanya pemimpin ideal dalam kaca mata Islam.