Monday, November 10, 2008

Ikhtilaf, Antara Nikmat dan Kemalangan Ummat

Alkisah, ada dua orang pemuda yang sedang menaiki pohon kurma, masing-masing menaiki satu buah pohon kurma. Mereka memuji suburnya pohon kurma sendiri. Tetapi, karena hawa nafsu telah menunggangi hati dan akal mereka, maka sikap mereka beralih menjadi pertengkaran dan saling melempari dengan buah kurma. Orang yang melihat kejadian itu ada yang menertawakan mereka, ada yang senang karena mendapatkan kurma yang berhamburan di bawah, ada yang menghardik, menangis kerena terkena lemparan kurma yang meleset. Akhirnya, kejadian ini malah membuahkan kerugian dan kehancuran muru’ah (kehormatan) mereka.
Analogi kejadian di atas sudah terjadi berlangsung lama di tubuh umat Islam, pertikaian bisa terjadi hanya karena beda pemahaman yang ditunggangi hawa nafsu dan mendahulukan interest pribadi mereka. Akhirnya, umat Islam sendiri yang merasakan rugi, disamping rugi karena tidak mendapatkan nikmatnya ukhuwwah (persaudaraan), juga rugi karena membuat umat Islam menjadi apatis (acuh tak acuh), bingung dan tersiksa, sehingga keterpurukan demi keterpurukan semakin deras menimpa umat Islam. Taqlid dan ta’ashub (fanatis) semakin menghunjam di dada mereka, selanjutnya mereka menjadi umat yang saling mencaci, bertengkar dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya.
Sikap seperti ini bisa merusak muru’ah umat Islam –juga Islam sendiri- di hadapan umat lainnya, maka wajar jika para Orientalis, Missionaris dan orang-orang yang memusuhi Islam menamai agama kita sebagai agama konservatif (terbelakang) dan barbarian (orang yang kasar). Mereka berani mengemukakan demikian karena "baju" Islam demikian adanya, berbeda dengan isi yang diusung agama Islam. Karena itu kita mesti memperbaiki pola pikir mereka dengan cara memperbaiki akhlaq umat Islam itu sendiri.
Allah Swt berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran: 103)
Sebab turunnya ayat ini karena dahulu ada dua kaum yang masih Jahiliyyah dan berperangai kasar, yaitu Aus dan Khazraj. Ketika kedua golongan ini berkumpul dalam satu majlis, lalu dibacakan al Kitab kepada mereka, mereka malah berselisih dan menyerang satu sama lainnya, maka turunlah ayat ini untuk mempersatukan umat Islam dalam tali Allah. Tetapi, kejadian Aus dan Khazraj ini kembali berulang dalam tubuh umat Islam sekarang ini, sebab itu tepat jika ayat ini dibacakan kepada mereka yang sedang berselisih dan berpecah belah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt memerintahkan manusia agar bersatu dan menjauhi perpecahan, karena perpecahan akan membuahkan kehancuran, sedangkan persatuan akan membuahkan keselamatan (Al Jâmi’u Liahkâmil Qur’an, 2002, jil. II, hal. 517). Dengan ayat ini pula, kita bisa mengetahui bahwa Islam sangat memperhatikan persatuan, dan hanya Allahlah yang menabur persatuan di hati manusia (QS. Hûd: 118-119). Maka dari itu, persatuan adalah nikmat yang patut kita syukuri. Kalaupun terjadi ikhtilaf di tubuh umat Islam, hal ini tetap manjadi sebuah kenikmatan, jika ikhtilaf ini masih dalam lingkup persatuan dan persaudaraan.
Problema (baca: perpecahan) yang terjadi dalam diri umat Islam kali ini tidak bisa menjustifikasi kepada haramnya ikhtilaf (selisih pendapat), karena ikhtilaf adalah hal yang lumrah dan fitrah dalam diri dan kehidupan manusia. Dr. Shalih Ibn Ghanim As Sadlan menegaskan dalam bukunya “I’tilâf wal Ikhtilâf, Asasuhu wa Dlawâbithuhu” bahwa ikhtilaf adalah perkara sunatullah, jadi yang merugikan umat Islam itu bukanlah ikhtilaf, akan tetapi sikafp iftiraq lah (perpecahan) yang bisa merugikan umat Islam.
As Sadlan membedakan secara jelas antara ikhtilaf dengan iftiraq, beliau mengutarakan “ikhtilaf adalah kebalikan dari sepakat, artinya tidak ada kesepakatan dalam satu perkara. Sedangkan iftiraq yaitu memisahkan diri dari jama’ah. Iftiraq lebih bahaya, dan iftiraq merupakan buah dari ikhtilaf. Jadi, setiap yang iftiraq pasti ikhtilaf, tetapi tidak setiap yang ikhtilaf itu adalah iftiraq".
Ikhtilaf dibolehkan ketika itu masih berada dalam konteks furu’ ijtihadiyyah (sesuatu yang masih bisa diijtihadi). Ikhtilaf seperti ini sudah ada semenjak jaman Nabi Muhammad Saw, ketika para sahabat hendak menuju Bani Quraidzah. Para sahabat berselisih pendapat tentang ucapan Nabi Saw agar melaksanakan shalat Ashar di Bani Quraidzah, tetapi di perjalanan para sahabat berselisih pendapat mengenai ucapan Nabi ini, sehingga ada sebagian sahabat yang shalat di perjalanan dan ada yang shalat ketika sampai di Bani Quraidzah. Hal yang perlu dicatat dalam kisah ini, bahwa para sahabatpun berikhtilaf, akan tetapi ikhtilaf mereka tidak sampai membuahkan iftiraq, sebab mereka tidak ditunggangi hawa nafsunya.
Ikhtilaf bisa menjadi haram jika sudah memasuki tiga perkara:
1. Perkara Ushul.
Jika terjadi ikhtilaf dalam perkara ini maka ia dianggap kafir. Seperti mempertanyakan dan atau memperselisihkan tentang eksistensi Allah, berpendapat bahwa Allah memiliki anak, dll.
2. Perkara furu’ yang sudah jelas dalil dan hukumnya.
Jika terjadi ikhtilaf dalam perkara ini, maka ia dianggap kafir juga. Seperti berselisih pendapat tentang hukum shalat lima waktu, hukum shaum di bulan Ramadhan, hukum jilbab, dll. Sebab ikhtilaf dalam perkara ini tidak jauh beda dengan tindakan orang Yahudi dan Nashrani (QS. Ali Imran: 105), dan Allah menghukum mereka dengan memberikan keleluasaan hidup di dunia dalam kesesatan (QS. An Nisa: 115). Hukuman ini bisa kita lihat pada kehidupan orang-orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, mereka begitu hidup begitu leluasa dan banyak mendapat sokongan moril dan materil dari musuh-musuh Islam.
3. Ikhtilaf yang diikuti hawa nafsu.
Jika terjadi ikhtilaf seperti ini, maka dia akan dianggap sebagai orang yang sesat (QS. Shaad: 26) dan dia bisa membuahkan iftiraq pada dirinya dan orang lain.
Perkara yang ketiga ini kerap kali terjadi pada diri umat Islam, disebabkan kurangnya ilmu yang dimiliki, bersikap taqlid dan ta’ashub. Jika hal ini terus berlangsung dalam tubuh umat Islam, maka akan lahir orang-orang yang mutatharrif (keras dan kasar), para pencela ulama, Jama’ah Takfir (golongan yang suka mengkafirkan muslimin), dan sikap tercela lainnya. Sikap inilah yang menurut Dr. Sadlan yang bisa menyebabkan muslimin menjadi terpuruk, terpaksa, dan tertekan dalam menjalankan Syari’at agama.
Di dalam menyikapi iftiraq di tubuh umat Islam, maka kita mesti mengajak umat Islam agar mendahulukan persamaan dibandingkan perbedaan, dengan cara menyadari bahwa kita adalah sama-sama muslim dan bersaudara serta sama-sama memiliki dua kemungkinan dalam berpendapat, yaitu mungkin benar dan mungkin salah. Sehingga dengan mendahulukan persamaan dibandingkan perbedaan, bisa melahirkan sikap husnudzân (berbaik sangka) dan kasih sayang di antara umat Islam. Sekalipun terjadi ikhtilaf, hal ini tidak akan sampai melahirkan iftiraq, karena menyadari adanya persamaan kita di awal. Akhirnya ikhtilaf akan menjadi sebuah kenikmatan dan terwujudlah I’tishâm bi hablillâh.Akhirnya penulis mengajak kepada kaum muslimin dengan meminjam ungkapan Ust. Musthafa Masyhur “Tolong menolonglah pada apa yang disepakati, bertoleransilah dalam perselisihan".

No comments: