Monday, November 10, 2008

Kritis Merupakan Kunci Kebahagiaan

Pengajaran pertama yang diajarkan agama kita, adalah bagaimana kita bisa menjadi dan berani bersikap kritis. Sebagaimana kalimat agung yang berbunyi Lâ ilâha illallâh, merupakan pelajaran kritis pertama yang mesti diucapkan setelah diawali dengan keyakinan. Kata yang berarti “Tidak” ini, bisa terucap karena desakan batin yang diawali dengan olah pikir, dan dipadukan dengan jiwa berani, sehingga terucaplah kata tersebut.


Inilah jiwa kritis, ia hadir selalu diawali dengan olah pikir dan keberanian. Sebab tanpa olah pikir, malah akan berbuah penghinaan dan kerusakan. Juga kritis tanpa keberanian, ia tidak akan membuahkan apapun kecuali menjadi titik balik negatif bagi diri, yaitu melahirkan jiwa-jiwa pengecut dan kerdil.


Jiwa kritis kali ini sudah menjadi barang langka, dikarenakan buah dari dikte lingkungan juga karena tumbuhnya jiwa kerdil dalam diri. Akhirnya kita tercebur ke dalam kubangan fatalisme, atau lebih parahnya lagi kita malah merasa nyaman tinggal dalam kubangan ini.


Walhasil, kita jadi tidak jauh beda seperti binatang ternak atau bahkan lebih hina dari itu. Yang secara tidak sadar telah mengalungkan rantai di leher kita sendiri, dengan tujuan supaya mudah digiring orang lain ke arah manapun.


Ada beberapa faktor mengapa jiwa kritis jadi terkebiri: Pertama, jiwa malas berpikir radikal (mengakar), sehingga melahirkan para pemikir instan yang berefek sekejap. Kedua, jiwa fatalis (Jabariyah) yang lahir dari keputusasaan. Ketiga, jiwa individualis, karena mengira kesusahan yang terjadi di luar dirinya tidak akan merugikan dirinya di dunia maupun di akhirat. Keempat, jiwa pengecut yang tidak berani berkorban demi kemajuan bersama.


Menumbuhkan jiwa kritis, berarti peduli akan kemajuan bangsa, kejayaan bersama, izzahnya agama. Adapun jalur yang bisa dimasuki jiwa kritis ini sangat beragam, misalkan jalur ilmu pengetahuan ketika para ilmuan memanipulasinya demi kekuasaan, jalur agama ketika ia sengaja dipolitisir, jalur pemerintahan ketika para penguasa bersikap despotis, atau jalur da'wah ketika ia dimonopoli segolongan orang, dll.


Kritis itu ibarat menjerit di saat kaki merasakan kesakitan karena terinjak kursi, kalau pun tidak sampai menjerit, namun anggota badan lainnya berusaha untuk mengeluarkan kaki dari injakan kursi. Tapi yang jadi persoalan kebanyakan orang, jika "indera rasa" kita sudah hilang, akhirnya kita tidak sadar sedang berada dalam kesakitan.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

No comments: