Monday, November 10, 2008

Mengurai Rahasia Takdir

Merupakan hak Tuhan untuk menciptakan dan memerintah alam semesta beserta isinya, bergantinya siang dan malam, bulan-bintang, alam semesta seluruhnya tunduk pada perintah-Nya (QS. 7:54). Namun kenapa, manusia yang tidak lebih hebat penciptaannya dari pada alam semesta (QS. 37:11, 79:27), tidak senantiasa tunduk kepada Sang Pencipta. Dan mengapa manusia berani bersebrangan dengan apa yang diperintahkan Tuhan, tidak sebagaimana alam semesta?.


Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui di awal bahwa alam semesta diciptakan Allah dengan sifat Iradah-Nya, dengan tujuan agar ia senantiasa ta'at kepada-Nya. Sebagaimana dalam penciptaan Malaikat, ia diciptakan dengan sifat Iradah Allah, sehingga mereka statis dalam keta'atan kepada-Nya.


Iradah ini sinonim dengan kata Ridha, dan Ridha hanya ditujukan pada satu objek untuk dua hal yang berlawanan. Sebab mustahil dua hal yang berlawanan berkumpul dalam satu masa dan diridhai keduanya oleh Allah. Misalkan saja bumi yang kita tinggali ini diciptakan Allah tidak dengan sifat Iradah-Nya, sehingga memiliki dua karakter yang bisa berotasi pada porosnya secara berlawanan dalam satu masa, tidak ayal lagi dalam sekejap bumi ini akan luluh lantah. Kecuali Allah memberikan bumi tersebut akal dan kemampuan memilih, sebagaimana manusia.


Lain halnya dengan manusia, Allah menciptakannya dengan sifat-Nya yang Qadlir (yang Berkuasa). Artinya, dengan Qurdrah Allah menciptakan manusia untuk bisa memiliki dua karakter yang berlawanan. Qudrah ini yang biasa kita sebut dengan Takdir, yaitu ketentuan Tuhan terhadap segala sesuatu sejak jaman Azali.


Kedua karakter yang diberikan Allah kepada manusia ini, adalah berupa karakter baik dan buruk (QS. 91:8, 76:3). Adapun tugas manusia setelah diciptakan-Nya, adalah memilih di antara kedua karakter tersebut. Pastinya, setelah Allah menganugerahi manusia akal dan kebebasan dalam memilih dua karakter, sebagaimana dalam firman Allah: .... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri... (QS. 13: 11). Di ayat ini dijelaskan, manusia diberikan Allah hak untuk memilih ke arah mana perubahan yang diinginkannya.


Apapun yang dipilih manusia, pilihannya tetap berada dalam Qudrah/Takdir Allah. Namun bukan berarti semua takdir Allah atas manusia, itu semuanya diridhai-Nya. Karena ridha hanya terbatas pada satu objek saja, dan yang diridhai Allah dari manusia adalah ketika manusia memilih satu karakter yang diridhainya, yaitu karakter baik/benar, atau apa yang disebut dengan menjalankan ibadah (QS. 51:57). Sehingga sampai di sini kita dapat menjawab pertanyaan di awal tadi, bahwa manusia karena diberikan anugerah untuk dapat memilih dua karakter, maka membuka kemungkinan baginya untuk memilih karakter yang tidak diridhai Allah. Apa pun yang dipilih manusia, dia mesti bertanggung jawab atas pilihannya tersebut (QS. 74:38).


Disamping manusia diciptakan Allah dengan sifat-Nya yang Qadir, juga ada beberapa hal diciptakan dengan iradah-Nya. Sehingga manusia tidak diberikan kuasa untuk memilihnya, seperti dalam perkara ajal, rizki, musibah.


Qudrah/Takdir ini senada dengan Masyi'ah, yang merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah. Karena, Masyi'ah juga untuk menunjukkan pada sifat berkuasanya Allah dalam menghendaki pada dua karakter yang berlawanan. Namun bedanya dengan Qudrah, Masyi'ah bukanlah ketentuan Allah pada jaman azali. Tapi ia merupakan sifat Allah yang mengizinkan ketika manusia telah memilih salah satu Qudrah-Nya. Masyi'ah ini biasa kita kenal dengan sebutan Qadla, yang berarti pelaksanaan Qadar ketika terjadi.


Seperti halnya Qudrah, Masyi'ah tidak menunjukkan bahwa setiap apa yang diizinkan Allah otomatis diridhainya. Karena ridha Allah hanya untuk satu objek/karakter saja. Jadi ketika manusia memilih karakter keburukan, maka dia sejalan dengan Qudrah/Takdir Allah. Namun pilihan manusia tersebut bergantung pada masyi'ah (perizinan) dari Allah. Jika Allah mengizinkan pilihannya untuk berbuat keburukan, maka pilihan tersebut akan terjadi dan membuahkan akibat. Sehingga secara otomatis juga pilihannya tidak diridhai Allah, karena manusia memilih pilihan yang salah, dan berhak mendapat siksa.


Begitu juga, jika manusia lebih memilih kebaikan, maka dia sejalan dengan Takdir Allah. Dan jika Allah mengizinkan pilihannya itu terjadi, maka pilihannya akan membuahkan akibat baik (QS. 55:60). Secara otomatis juga, dia diridhai Allah dan berhak mendapatkan pahala.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

1 comment:

Anonymous said...

Nice Blog..

Visit my blog :

http://komputermini.blogspot.com..

thanks.