Monday, November 10, 2008

Mengembalikan Ras manusia dengan Da'wah

Peran da'wah tidak dapat dinafikan dari cita keberhasilan sebuah agama. Ibarat mobil, ia diumpamakan sebagai ban yang dapat mengantarkan kerangka mobil, hingga dapat memikat penumpang untuk menaikinya. Begitu pun dengan agama, tanpa peran da'wah, ia laksana bangkai kerangka mobil, tidak dapat maju atau pun mundur, malahan mandeg dan akhirnya berkarat lalu hancur.


Nabi Muhammad Saw. bisa kita katakan seorang Bapaknya para da'i, karena dengan da'wah beliau, bisa menyampaikan keagungan akan misi agama Islam. Bahkan dari da'wah beliau dapat melahirkan para da'i sekaliber Abu Bakar, Umar bin Khattab dll.


Pesan Rasulullah yang berbunyi "Agama itu Nasihat" (HR. Muslim), jelas menunjukkan bahwa agama itu nasihat yang dapat memperbaiki umat. Namun sebatas ajaran agama saja itu tidaklah cukup, mesti ada satu peran sebagai pelaksana dan penghubung antara agama dengan umat manusia. Dialah da'i. Maka ketika seorang da'i tidak dapat menyampaikan pesan-pesan agama dengan baik, sehingga tidak dapat dipahami pendengar, ia bukanlah seorang da'i. Karena alih-alih merubah umat dengan pesan agama, ia malah membuat mereka bingung dan bahkan bisa menjadi titik balik negatif terhadap agama. Umat jadi menyalahkan agama.


Satu hal yang menarik dalam ajaran Islam, yaitu mengenai terma kerahiban atau tokoh agama tidak dikenal dalam Islam. Karena ajaran Islam tidak untuk dimonopoli sebagian orang ataupun golongan tertentu. Sehingga tugas mempelajari dan menyebarkan ajaran agama pun, berlaku bagi setiap pemeluknya. Siapa pun dia; tua atau muda, pelajar atau pekerja, miskin atau kaya, pejabat atau rakyat, bahkan seorang pendosa besar pun terkena kewajiban untuk mempelajari dan menyebarkan agamanya. Adapun mengenai urusan diterima atau tidaknya sebuah nasihat oleh pendengar, itu kembali kepada Allah Sang Pemegang hati manusia. Namun tentunya jika diawali niatan dan usaha yang baik dari da'i ataupun mad'u.


Sering kali kita salah dalam menafsirkan surat Ash Shaf: 2-3, sehingga dengan memakai hujjah ayat ini banyak orang yang enggan berda'wah. Dengan alasan takut dibenci Allah, terutama ketika mengaca pada diri belum bisa bertaqwa (shalih). Padahal jika kita menengok kembali historis turunnya ayat ini, ternyata kebencian Allah ditujukan kepada mereka yang berjanji kepada Allah dan Rasul-Nya, namun tidak mereka tepati.


Dikisahkan ada seorang berkata kepada Nabi: "Kalaulah kami tahu amalan-amalan apa saja yang lebih utama (lebih dicintai) menurut Allah, maka kami akan melaksanakannya", lalu turunlah surat Ash Shaf ayat 10 dan 11 yang menjelaskan tentang amalan-amalan yang disukai Allah, yaitu; Beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, serta berjihad fisabilillah. Namun setelah mereka diberi kabar mengenai amalan-amalan yang disukai Allah ini, mereka hanya melaksanakan dua amalan saja, yaitu iman kepada Allah dan rasul-Nya, dan tidak mau untuk berjihad. Akhirnya turunlah surat Ash Shaf ayat 2 dan 3, yang menegaskan bahwa Allah membenci orang-orang yang berjanji tapi tidak menepatinya.


Jadi tidak sesuai jika surat Ash Shaf ayat 2 dan 3 ini diterapkan kepada para da'i yang berda'wah, dan dia sendiri belum bisa melaksanakannya. Seperti da'i yang mengajak orang lain agar bertaqwa, tapi dia sendiri belum sempurna ketaqwaannya, ini tidaklah mengapa. Atau misalkan seorang yang biasa minum arak melihat orang yang sedang membawa sebilah pisau dengan niat hendak membunuh saudaranya, si pemabuk itu tetap wajib menasihati dia, karena taklif untuk berda'wah bersifat umum bagi semua umat Islam.


Kendati pun saya sendiri tidak menafikan adanya potensi-potensi agar da'wah bisa tersampaikan dengan baik dan dapat diterima dengan ikhlas. Potensi-potensi yang saya maksudkan seperti; memperbaiki diri, berpenampilan baik, piawai dalam menyampaikan pesan, dll. Namun bukan berarti kewajiban berda'wah ini menjadi terhapus, ketika potensi-potensi ini tidak dimiliki. Sebab di samping perintah da'wah bersifat menyeluruh, juga untuk urusan hidayah tetap di Tangan Allah Swt.


Jika kita mengamati fenomena da'wah saat ini, ternyata seruan Islam yang mengajarkan agar umat Islam seluruhnya menjalankan da'wah, kini malah terbalik, bahkan tidak sedikit dipolitisir. Seakan peran da'wah sudah ditugaskan kepada sebagian golongan saja, dan sebagian yang lain bungkam. Dan da'wah hanya sebatas di atas mimbar-mimbar ceramah, juga untuk mereka yang pandai berceramah. Celakanya, mereka yang berada di luar lokasi ceramah tidak dapat tersirami nasihat-nasihat agama, padahal objek da'wah lebih banyak di luar lokasi ceramah.


Ketika terlihat dua pasangan non-mahram sedang bergandengan tangan atau berciuman di jalanan, kita biarkan. Di saat melihat para pedagang sedang mengasongkan gambar-gambar haram, kita pun diam. Sampai ketika para atasan dan rekan kerja korupsi pun, kita bungkam. Da'wah seakan-akan satu hal yang tabu, atau bahkan konservatif. Orang yang melakukan dosa tidak lagi malu melakukannya, tapi malahan kita –yang terkena taklif da'wah- yang merasa malu untuk menasihati.


Kondisi seperti ini malah berdampak negatif bagi keberlangsungan sosial dan spiritual umat manusia. Maka tunggulah, bergantinya ras manusia menjadi ras binatang, atau lebih parah dari itu.


Kini sudah saatnya kita sadar, dan segera mengembalikan fungsi kita sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Yaitu, berfungsi memelihara sosial dan spiritual makhluk Tuhan, bahkan memelihara alam semesta dari tangan-tangan jahil. Pastinya, dengan menda'wahkan kebaikan, memberantas kemungkaran dan menyeru pada keimanan.


Dengan ini, maka kita tergolong orang-orang yang terbaik di hadapan Allah (QS. 3:110).

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

No comments: