Monday, November 10, 2008

Secercah Harapan

Tiada kisah dan sejarah yang tidak akan berakhir, dan semua orang pasti menginginkan akhir yang bahagia (Happy ending). Begitu pun dengan sejarah perjalanan Islam dan Muslimin, pasti akan berakhir, dan akan berakhir dengan kebahagiaan. Karena ini memang merupakan janji Allah dan Rasul-Nya. Adapun peran kita saat ini hanya diberikan pilihan, apakah ingin menjadi orang yang bergabung merasakan kebahagiaan nanti, ataukah hancur lebur bersama orang-orang yang dirundung kekalahan?.



Jika kita tidak peduli dengan problematika umat Islam saat ini, individualistik dan hidup hanya mengejar kesenangan sesaat. Berarti kita lebih memilih pilihan kedua, yaitu bergabung bersama orang-orang kalah. Nabi Muhammad Saw. menamakan kelompok ini dengan "Manusia Buih" sebagaimana dalam sabda-Nya: "Hampir saja bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian dari seluruh penjuru, seperti orang memperebutkan makanan", para sahabat bertanya "Apakah kita pada saat itu sedikit, wahai Rasulullah Saw.?", beliau menjawab "Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak, namun kalian seperti buih di atas air, dan Allah Swt. mencabut rasa takut terhadap kalian dalam dada musuh-musuh kalian, sementara Dia akan meletakan Wahn (kelemahan) dalam hati kalian". Para sahabat kembali bertanya, "Apakah Wahn itu wahai Rasulullah?", beliau menjawab "Cinta dunia dan takut mati"(HR. Ahmad dan Abu Daud ).


Lebih jauh lagi, hadits ini menunjukkan sumber kondisi yang berbahaya yang membuat umat menjadi seperti buih, yaitu faktor kejiwaan dan moral. Bukan karena faktor materi atau ekonomi. Sebab ia adalah penyakit dari segala penyakit, seperti penyakit inferioritas yang merasuk dalam jiwa dan merubahnya menjadi kerdil serta merusaknya. Sehingga umat Islam yang saat ini berjumlah 1.5 miliar, tunduk dalam hegemoni (Haimanah) Yahudi yang hanya berjumlah 15.050.000.


Namun jika kita ingin menjadi golongan yang berbahagia di akhirnya, maka kita mesti siap mengorbankan jiwa, raga, keluarga dan harta untuk izzah Islam wal Muslimin. Menjadi mata rantai penyebaran Islam ke pelosok dunia, sebagaimana janji Nabi Saw "Islam akan mencapai wilayah yang dicapai siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan rumah yang mewah maupun rumah yang sederhana, kecuali akan memasukkan agama ini ke dalamnya. Dengan memuliakan orang yang mulia atau dengan menghinakan orang yang hina. Mulia karena dimuliakan Allah disebabkan keislamannya dan hina karena dihinakan Allah disebabkan kekafirannya"(HR. Ahmad dalam Musnad).


Juga kita siap menjadi pion-pion, yang akan menegakkan khilafah Islamiyah yang telah dijanjikan Rasulullah kepada umat Islam. Dalam sabdanya "Masa kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang masa kekhilafahan atas manhaj kenabian selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang masa kerajaan dzalim selama beberapa masa, selanjutnya datang masa kerajaan diktator dan totaliter dalam beberapa aamasa hingga waktu yang ditentukan Allah. Setelah itu akan (terulang kembali) kekhilafahan atas manhaj kenabian" kemudian Rasullah berdiam (HR. Ahmad dalam Musnad).


Menurut Samuel P. Huntingthon dalam The Clash of Civilization; and remaking of world order "Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati....... Sebab bagi Barat, yang menjadi "ganjalan" utama bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri". Realita menjawab jelas, bahwa Islam telah ditetapkan Barat sebagai musuh mereka. Dan kita yakin, peradaban Barat saat ini sedang dalam babakan terakhir, atau meminjam istilah Francis Fukuyama "The end of History". Jika memang babakan kemenangan Islam sebentar lagi, apakah kita hanya akan termangu menjadi penonton? Ataukah berani maju menjadi aktor yang handal?.


Tugas yang bisa kita lakukan saat ini adalah: Kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah, karena dua pegangan inilah yang menjadi sandaran kegemilangan peradaban Islam dahulu. Perkuat barisan, karena dengan ini kita tidak lagi disibukan dengan skisma (Perpecahan) dan heresy (Takfîr). Islamisasi ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bisa memperkuat peradaban, sebagaimana dahulu pada jaman khalifah Al Manshur, Harun Ar Rasyid dan Al Ma'mun peradaban Islam semakin gemilang karena menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India, seperti; Astronomi, matematika, sastra, dll. Kemudian ilmu-ilmu ini diislamisasikan dengan mengambil yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an da As Sunnah, setelah itu dikembangkan oleh ulama-ulama Islam. Dan bahkan Barat bisa seperti sekarang ini karena ilmu pengetahuan, yang sebenarnya mereka ambil dari ulama-ulama muslim. Sebut saja Adam Smith (1776 M) –Bapak ekonomi Barat- menulis buku Wealth of Nation, yang diduga mendapat inspirasi dari buku Al Amwâl karangan Abu Ubaid (838 M). Perkuat pertahanan militer, karena dengan ini akan menambah wibawa Islam di hadapan musuh-musuhnya. Dan Last but not least, Tentukan musuh bersama umat Islam, karena dengan ini bisa menyamakan barisan umat Islam.

Ketika Sosialis, Komunis, Kapitalis, dan ideologi lainnya berebut menawarkan sistem tata negara. Umat Islam kali ini malah inferioritas bahkan enggan memakai sistem kenegaraan yang diberikan Tuhannya. Padahal Allah sudah menjanjikan "Secara tegas Allah telah menjanjikan sesuatu kepada orang-orang yang mempercayai kebenaran, tunduk kepadanya dan mengerjakan amal saleh. Yaitu, Dia akan menjadikan mereka sebagai pengganti orang-orang terdahulu yang mewarisi kekuasaan di muka bumi, seperti halnya orang-orang yang telah mendahului mereka. Allah juga akan meneguhkan bagi mereka agama Islam sebagai agama kepasrahan yang diridai-Nya. Dengan demikian, kalian menjadi memiliki wibawa dan kekuasaan. Begitu pula Allah akan mengganti keadaan mereka dari rasa takut menjadi rasa aman, sehingga kalian dapat beribadah dengan tenang dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun dalam beribadah. Barangsiapa memilih untuk kafir setelah datangnya janji yang benar ini, atau keluar dari agama Islam, sesungguhnya mereka itu adalah orang- orang yang fasik, ingkar dan membangkang" (An Nûr: 55).

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Interaksi Sosial dengan Taqwa

Ketika Allah menciptakan manusia berbangsa dan bernegara, itu tidak berarti Dia menyeru manusia untuk bersikap fanatik dengannya. Tapi sebaliknya, kita diperintahkan untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Dan perintah ini bertujuan agar bisa mengikis jiwa-jiwa sektarian dan sikap esklusif manusia. Maka, dari mana pun basic seseorang, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Namun yang menjadi catatan penting, interaksi sosial ini mesti berlandaskan ketaqwaan kepada Allah. Sebab hanya orang yang bertaqwa kepada Allah-lah yang paling mulia di sisi Allah (QS. 49:13).



Sehingga segala opini, paradigma, atau ideologi apapun tidak dapat ditolerir, apabila itu bermisikan untuk menghalangi seseorang dalam mengenal satu sama lain (Ta'aruf), bahkan agama sekalipun tidak dibenarkan. Namun, jika ta'aruf bertujuan agar kita dapat menanggalkan prinsip ketaqwaan, maka dengan sendirinya ta'aruf tersebut tertolak. Misalkan dalam interaksi ta'aruf antar suku untuk bersatu dan mengusung jiwa nasionalisme, sembari bermisikan penanggalan ketaqwaan dalam diri manusia, seperti memperjuangkan sekulerisme. Maka ta'aruf dalam frame nasionalisme seperti ini mesti ditolak, sebab orang yang bertaqwa kepada Allah pasti menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, baik hukum dalam skup personal ataupun nasional.

Ta'aruf seorang muslim kepada non-muslim pun tidak dilarang, selama ta'aruf ini memegang prinsip ketaqwaan. Semisal, ta'aruf bertujuan untuk menjalin mu'amalah yang baik antar agama, dengan jalan toleransi (Tasâmuh). Tapi jika bertujuan untuk memobilisasi massa menuju ide-ide pluralisme agama, jelas hal ini berseberangan dengan nilai ketaqwaan. Karena orang yang bertaqwa kepada Allah, adalah mereka yang mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah (QS. 3:19 & 85, 5:3).

Apatah lagi jika ta'aruf dua orang muslim yang berlainan geografis, umur, strata sosial, bertujuan untuk menjalin ukhuwah Islamiah, ini tidak dilarang bahkan dianjurkan agama Islam. Lain halnya jika ta’aruf ini bertujuan untuk bersepakat dalam sebuah kemaksiatan, ini jelas-jelas tidak menandakan sikap orang yang bertaqwa.

Nampaknya sekarang sudah jelas, bahwa agama Islam mengajarkan manusia untuk hidup bersosial, meskipun dengan orang yang berlainan asal, keturunan, ideologi, bahkan agama. Sebab agama Islam bermisikan ukhuwah dan da'wah, dalam frame taqwa.

Maka heran jika umat Islam yang kini berjumlah satu setengah miliar ada yang memperjuangkan rasisme, nasionalisme penyulut pertikaian antar negara, sektarianisme madzhab, chauvinisme dan ideologi-ideologi konservatif/primitif (Jahiliyyah) lainnya. Komunitas-komunitas seperti ini tidak melambangkan ketaqwaan kepada Allah, sehingga layak didepak dari golongan umat Rasulullah. Sebagaimana sabda Rasul:

"Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak pada fanatisme, dan bukan dari golongan kami orang yang berperang atas nama fanatisme, serta bukan dari golongan kami orang yang mati demi fanatisme" (HR. Abu Daud).

Jika dari sabda Rasul ini menegaskan bahwa orang-orang fanatik dianggap tidak termasuk golongan beliau, lalu termasuk golongan siapakah mereka?. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah menegaskan bahwa mereka termasuk golongan orang-orang jahiliyyah:

"Barangsiapa yang berperang di bawah panji kejahiliyahan dan membenci dengan alasan fanatik, berpihak karena fanatik, atau menyeru pada kefanatikan. Lalu jika ia terbunuh (demi kefanatikan), maka ia telah terbunuh dalam kejahiliyahan" (HR. Muslim dan Baihaqi).

Adapun sikap fanatik kita terhadap agama Islam, ini bukan termasuk sikap kejahiliyahan. Justeru orang-orang yang memperjuangkan pluralisme agamalah, yang termasuk orang-orang jahiliyah. Karena mereka bersikap tidak berlandaskan ketaqwaan.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Mengurai Rahasia Takdir

Merupakan hak Tuhan untuk menciptakan dan memerintah alam semesta beserta isinya, bergantinya siang dan malam, bulan-bintang, alam semesta seluruhnya tunduk pada perintah-Nya (QS. 7:54). Namun kenapa, manusia yang tidak lebih hebat penciptaannya dari pada alam semesta (QS. 37:11, 79:27), tidak senantiasa tunduk kepada Sang Pencipta. Dan mengapa manusia berani bersebrangan dengan apa yang diperintahkan Tuhan, tidak sebagaimana alam semesta?.


Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui di awal bahwa alam semesta diciptakan Allah dengan sifat Iradah-Nya, dengan tujuan agar ia senantiasa ta'at kepada-Nya. Sebagaimana dalam penciptaan Malaikat, ia diciptakan dengan sifat Iradah Allah, sehingga mereka statis dalam keta'atan kepada-Nya.


Iradah ini sinonim dengan kata Ridha, dan Ridha hanya ditujukan pada satu objek untuk dua hal yang berlawanan. Sebab mustahil dua hal yang berlawanan berkumpul dalam satu masa dan diridhai keduanya oleh Allah. Misalkan saja bumi yang kita tinggali ini diciptakan Allah tidak dengan sifat Iradah-Nya, sehingga memiliki dua karakter yang bisa berotasi pada porosnya secara berlawanan dalam satu masa, tidak ayal lagi dalam sekejap bumi ini akan luluh lantah. Kecuali Allah memberikan bumi tersebut akal dan kemampuan memilih, sebagaimana manusia.


Lain halnya dengan manusia, Allah menciptakannya dengan sifat-Nya yang Qadlir (yang Berkuasa). Artinya, dengan Qurdrah Allah menciptakan manusia untuk bisa memiliki dua karakter yang berlawanan. Qudrah ini yang biasa kita sebut dengan Takdir, yaitu ketentuan Tuhan terhadap segala sesuatu sejak jaman Azali.


Kedua karakter yang diberikan Allah kepada manusia ini, adalah berupa karakter baik dan buruk (QS. 91:8, 76:3). Adapun tugas manusia setelah diciptakan-Nya, adalah memilih di antara kedua karakter tersebut. Pastinya, setelah Allah menganugerahi manusia akal dan kebebasan dalam memilih dua karakter, sebagaimana dalam firman Allah: .... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri... (QS. 13: 11). Di ayat ini dijelaskan, manusia diberikan Allah hak untuk memilih ke arah mana perubahan yang diinginkannya.


Apapun yang dipilih manusia, pilihannya tetap berada dalam Qudrah/Takdir Allah. Namun bukan berarti semua takdir Allah atas manusia, itu semuanya diridhai-Nya. Karena ridha hanya terbatas pada satu objek saja, dan yang diridhai Allah dari manusia adalah ketika manusia memilih satu karakter yang diridhainya, yaitu karakter baik/benar, atau apa yang disebut dengan menjalankan ibadah (QS. 51:57). Sehingga sampai di sini kita dapat menjawab pertanyaan di awal tadi, bahwa manusia karena diberikan anugerah untuk dapat memilih dua karakter, maka membuka kemungkinan baginya untuk memilih karakter yang tidak diridhai Allah. Apa pun yang dipilih manusia, dia mesti bertanggung jawab atas pilihannya tersebut (QS. 74:38).


Disamping manusia diciptakan Allah dengan sifat-Nya yang Qadir, juga ada beberapa hal diciptakan dengan iradah-Nya. Sehingga manusia tidak diberikan kuasa untuk memilihnya, seperti dalam perkara ajal, rizki, musibah.


Qudrah/Takdir ini senada dengan Masyi'ah, yang merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah. Karena, Masyi'ah juga untuk menunjukkan pada sifat berkuasanya Allah dalam menghendaki pada dua karakter yang berlawanan. Namun bedanya dengan Qudrah, Masyi'ah bukanlah ketentuan Allah pada jaman azali. Tapi ia merupakan sifat Allah yang mengizinkan ketika manusia telah memilih salah satu Qudrah-Nya. Masyi'ah ini biasa kita kenal dengan sebutan Qadla, yang berarti pelaksanaan Qadar ketika terjadi.


Seperti halnya Qudrah, Masyi'ah tidak menunjukkan bahwa setiap apa yang diizinkan Allah otomatis diridhainya. Karena ridha Allah hanya untuk satu objek/karakter saja. Jadi ketika manusia memilih karakter keburukan, maka dia sejalan dengan Qudrah/Takdir Allah. Namun pilihan manusia tersebut bergantung pada masyi'ah (perizinan) dari Allah. Jika Allah mengizinkan pilihannya untuk berbuat keburukan, maka pilihan tersebut akan terjadi dan membuahkan akibat. Sehingga secara otomatis juga pilihannya tidak diridhai Allah, karena manusia memilih pilihan yang salah, dan berhak mendapat siksa.


Begitu juga, jika manusia lebih memilih kebaikan, maka dia sejalan dengan Takdir Allah. Dan jika Allah mengizinkan pilihannya itu terjadi, maka pilihannya akan membuahkan akibat baik (QS. 55:60). Secara otomatis juga, dia diridhai Allah dan berhak mendapatkan pahala.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Mengembalikan Ras manusia dengan Da'wah

Peran da'wah tidak dapat dinafikan dari cita keberhasilan sebuah agama. Ibarat mobil, ia diumpamakan sebagai ban yang dapat mengantarkan kerangka mobil, hingga dapat memikat penumpang untuk menaikinya. Begitu pun dengan agama, tanpa peran da'wah, ia laksana bangkai kerangka mobil, tidak dapat maju atau pun mundur, malahan mandeg dan akhirnya berkarat lalu hancur.


Nabi Muhammad Saw. bisa kita katakan seorang Bapaknya para da'i, karena dengan da'wah beliau, bisa menyampaikan keagungan akan misi agama Islam. Bahkan dari da'wah beliau dapat melahirkan para da'i sekaliber Abu Bakar, Umar bin Khattab dll.


Pesan Rasulullah yang berbunyi "Agama itu Nasihat" (HR. Muslim), jelas menunjukkan bahwa agama itu nasihat yang dapat memperbaiki umat. Namun sebatas ajaran agama saja itu tidaklah cukup, mesti ada satu peran sebagai pelaksana dan penghubung antara agama dengan umat manusia. Dialah da'i. Maka ketika seorang da'i tidak dapat menyampaikan pesan-pesan agama dengan baik, sehingga tidak dapat dipahami pendengar, ia bukanlah seorang da'i. Karena alih-alih merubah umat dengan pesan agama, ia malah membuat mereka bingung dan bahkan bisa menjadi titik balik negatif terhadap agama. Umat jadi menyalahkan agama.


Satu hal yang menarik dalam ajaran Islam, yaitu mengenai terma kerahiban atau tokoh agama tidak dikenal dalam Islam. Karena ajaran Islam tidak untuk dimonopoli sebagian orang ataupun golongan tertentu. Sehingga tugas mempelajari dan menyebarkan ajaran agama pun, berlaku bagi setiap pemeluknya. Siapa pun dia; tua atau muda, pelajar atau pekerja, miskin atau kaya, pejabat atau rakyat, bahkan seorang pendosa besar pun terkena kewajiban untuk mempelajari dan menyebarkan agamanya. Adapun mengenai urusan diterima atau tidaknya sebuah nasihat oleh pendengar, itu kembali kepada Allah Sang Pemegang hati manusia. Namun tentunya jika diawali niatan dan usaha yang baik dari da'i ataupun mad'u.


Sering kali kita salah dalam menafsirkan surat Ash Shaf: 2-3, sehingga dengan memakai hujjah ayat ini banyak orang yang enggan berda'wah. Dengan alasan takut dibenci Allah, terutama ketika mengaca pada diri belum bisa bertaqwa (shalih). Padahal jika kita menengok kembali historis turunnya ayat ini, ternyata kebencian Allah ditujukan kepada mereka yang berjanji kepada Allah dan Rasul-Nya, namun tidak mereka tepati.


Dikisahkan ada seorang berkata kepada Nabi: "Kalaulah kami tahu amalan-amalan apa saja yang lebih utama (lebih dicintai) menurut Allah, maka kami akan melaksanakannya", lalu turunlah surat Ash Shaf ayat 10 dan 11 yang menjelaskan tentang amalan-amalan yang disukai Allah, yaitu; Beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, serta berjihad fisabilillah. Namun setelah mereka diberi kabar mengenai amalan-amalan yang disukai Allah ini, mereka hanya melaksanakan dua amalan saja, yaitu iman kepada Allah dan rasul-Nya, dan tidak mau untuk berjihad. Akhirnya turunlah surat Ash Shaf ayat 2 dan 3, yang menegaskan bahwa Allah membenci orang-orang yang berjanji tapi tidak menepatinya.


Jadi tidak sesuai jika surat Ash Shaf ayat 2 dan 3 ini diterapkan kepada para da'i yang berda'wah, dan dia sendiri belum bisa melaksanakannya. Seperti da'i yang mengajak orang lain agar bertaqwa, tapi dia sendiri belum sempurna ketaqwaannya, ini tidaklah mengapa. Atau misalkan seorang yang biasa minum arak melihat orang yang sedang membawa sebilah pisau dengan niat hendak membunuh saudaranya, si pemabuk itu tetap wajib menasihati dia, karena taklif untuk berda'wah bersifat umum bagi semua umat Islam.


Kendati pun saya sendiri tidak menafikan adanya potensi-potensi agar da'wah bisa tersampaikan dengan baik dan dapat diterima dengan ikhlas. Potensi-potensi yang saya maksudkan seperti; memperbaiki diri, berpenampilan baik, piawai dalam menyampaikan pesan, dll. Namun bukan berarti kewajiban berda'wah ini menjadi terhapus, ketika potensi-potensi ini tidak dimiliki. Sebab di samping perintah da'wah bersifat menyeluruh, juga untuk urusan hidayah tetap di Tangan Allah Swt.


Jika kita mengamati fenomena da'wah saat ini, ternyata seruan Islam yang mengajarkan agar umat Islam seluruhnya menjalankan da'wah, kini malah terbalik, bahkan tidak sedikit dipolitisir. Seakan peran da'wah sudah ditugaskan kepada sebagian golongan saja, dan sebagian yang lain bungkam. Dan da'wah hanya sebatas di atas mimbar-mimbar ceramah, juga untuk mereka yang pandai berceramah. Celakanya, mereka yang berada di luar lokasi ceramah tidak dapat tersirami nasihat-nasihat agama, padahal objek da'wah lebih banyak di luar lokasi ceramah.


Ketika terlihat dua pasangan non-mahram sedang bergandengan tangan atau berciuman di jalanan, kita biarkan. Di saat melihat para pedagang sedang mengasongkan gambar-gambar haram, kita pun diam. Sampai ketika para atasan dan rekan kerja korupsi pun, kita bungkam. Da'wah seakan-akan satu hal yang tabu, atau bahkan konservatif. Orang yang melakukan dosa tidak lagi malu melakukannya, tapi malahan kita –yang terkena taklif da'wah- yang merasa malu untuk menasihati.


Kondisi seperti ini malah berdampak negatif bagi keberlangsungan sosial dan spiritual umat manusia. Maka tunggulah, bergantinya ras manusia menjadi ras binatang, atau lebih parah dari itu.


Kini sudah saatnya kita sadar, dan segera mengembalikan fungsi kita sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Yaitu, berfungsi memelihara sosial dan spiritual makhluk Tuhan, bahkan memelihara alam semesta dari tangan-tangan jahil. Pastinya, dengan menda'wahkan kebaikan, memberantas kemungkaran dan menyeru pada keimanan.


Dengan ini, maka kita tergolong orang-orang yang terbaik di hadapan Allah (QS. 3:110).

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Kritis Merupakan Kunci Kebahagiaan

Pengajaran pertama yang diajarkan agama kita, adalah bagaimana kita bisa menjadi dan berani bersikap kritis. Sebagaimana kalimat agung yang berbunyi Lâ ilâha illallâh, merupakan pelajaran kritis pertama yang mesti diucapkan setelah diawali dengan keyakinan. Kata yang berarti “Tidak” ini, bisa terucap karena desakan batin yang diawali dengan olah pikir, dan dipadukan dengan jiwa berani, sehingga terucaplah kata tersebut.


Inilah jiwa kritis, ia hadir selalu diawali dengan olah pikir dan keberanian. Sebab tanpa olah pikir, malah akan berbuah penghinaan dan kerusakan. Juga kritis tanpa keberanian, ia tidak akan membuahkan apapun kecuali menjadi titik balik negatif bagi diri, yaitu melahirkan jiwa-jiwa pengecut dan kerdil.


Jiwa kritis kali ini sudah menjadi barang langka, dikarenakan buah dari dikte lingkungan juga karena tumbuhnya jiwa kerdil dalam diri. Akhirnya kita tercebur ke dalam kubangan fatalisme, atau lebih parahnya lagi kita malah merasa nyaman tinggal dalam kubangan ini.


Walhasil, kita jadi tidak jauh beda seperti binatang ternak atau bahkan lebih hina dari itu. Yang secara tidak sadar telah mengalungkan rantai di leher kita sendiri, dengan tujuan supaya mudah digiring orang lain ke arah manapun.


Ada beberapa faktor mengapa jiwa kritis jadi terkebiri: Pertama, jiwa malas berpikir radikal (mengakar), sehingga melahirkan para pemikir instan yang berefek sekejap. Kedua, jiwa fatalis (Jabariyah) yang lahir dari keputusasaan. Ketiga, jiwa individualis, karena mengira kesusahan yang terjadi di luar dirinya tidak akan merugikan dirinya di dunia maupun di akhirat. Keempat, jiwa pengecut yang tidak berani berkorban demi kemajuan bersama.


Menumbuhkan jiwa kritis, berarti peduli akan kemajuan bangsa, kejayaan bersama, izzahnya agama. Adapun jalur yang bisa dimasuki jiwa kritis ini sangat beragam, misalkan jalur ilmu pengetahuan ketika para ilmuan memanipulasinya demi kekuasaan, jalur agama ketika ia sengaja dipolitisir, jalur pemerintahan ketika para penguasa bersikap despotis, atau jalur da'wah ketika ia dimonopoli segolongan orang, dll.


Kritis itu ibarat menjerit di saat kaki merasakan kesakitan karena terinjak kursi, kalau pun tidak sampai menjerit, namun anggota badan lainnya berusaha untuk mengeluarkan kaki dari injakan kursi. Tapi yang jadi persoalan kebanyakan orang, jika "indera rasa" kita sudah hilang, akhirnya kita tidak sadar sedang berada dalam kesakitan.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu

Jangan Jadi Penonton

Perubahan menuntut kita untuk mengerenyitkan kening, mengusap peluh dan senantiasa bersabar. Karena perubahan merupakan suatu hal yang baru, dan terkadang bisa membuat manusia terkaget-kaget menghadapinya. Perubahan sebenarnya terjadi pada diri manusia dari waktu ke waktu, hari, bulan, tahun dan perubahan lainnya yang terasa ataupun tidak. Semuanya merupakan peristiwa sunatullah yang tidak dapat kita elakkan. Perubahan bisa diidentikkan dengan Hijrah, yaitu usaha merubah kesalahan dan dosa menuju ketaqwaan, seperti sabda Nabi Saw: “dan Muhajir adalah mereka yang berhijrah dari kesalahan dan dosa” (HR. Ibn Majah dan Ahmad)
Dalam bidang ekonomi kita lihat telah mengalami perubahan, dari era agraris, menuju era industri dan sekarang kita berada di era informasi. Begitupun dengan hawa pemerintahan di Indonesia, sudah berubah dari orde lama ke orde baru, dan sekarang menginjak orde reformasi. Perubahan ini terjadi karena pada suatu era mengalami kesalahan dan dosa, maka terjadilah perubahan demi mengejar perbaikan. Begitupun dengan seorang da’i, Jika ia tidak dapat berubah dan mengejar laju perkembangan masyarakat, maka akan terjadi kesenjangan antara da’i dengan mad’unya, baik kesenjangan ilmu pengetahuan, ekonomi ataupun sosial. Sebab dia tidak mampu menjawab persoalan masyarakat maju, sedangkan dia masih saja berkecimpung dengan permasalahan satu atau dua kullah air thaharah.
Arti semua ini, di manapun dan kapanpun makhluk berada, pasti akan mengalami perubahan dari kesalahan dan dosa menuju perbaikan. Namun, yang membedakannya adalah arah dari orientasi sebuah perubahan.

Mengubah orientasi perubahan
Layaknya orang yang akan menembak sasaran, maka dia mesti membuat perhitungan lebih matang dan mengukur tepat atau tidaknya arah senapan. Agar jangan sampai dia salah sasaran, sehingga tidak mengakibatkan kesalahan yang fatal. Perubahanpun membutuhkan perhitungan yang matang dan sasaran jelas sesuai dengan target yang ingin diraih. Karena itu Nabi Saw mewanti-wanti bahwa Hijrah (perubahan) sekarang itu sebatas kesungguhan (Jihad) dan niat (baca: orientasi), sebagaimana sabdanya: “Tidak ada lagi Hijrah setelah kemenangan Makkah, melainkan kesungguhan (Jihad) dan niat” (HR. Ahmad dan yang lainnya). Jadi, orientasi perubahan adalah penentuan diterima atau tidaknya perubahan oleh Allah Swt.
Disini saya akan mengelompokkan tipe manusia yang sedang berubah, dan mereka berhasrat ingin meraih keberhasilan dalam perubahannya sesuai dengan orientasinya masing-masing:
1. Karena Dorongan lingkungan. Tidak sedikit orang berubah bukan atas kehendaknya sendiri. Dia sebenarnya tidak ingin untuk merubah dirinya, tapi karena lingkungan menuntutnya untuk berubah, maka dia terpaksa menuruti perubahan itu. Tipe orang seperti ini tidak buruk jika dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai hasrat untuk berubah, meskipun lingkungan disekitarnya berpengaruh besar untuk merubahnya.
Contoh tipe yang pertama ini sering kita dapati pada teman kita, ataupun pada diri kita sendiri. Misalkan ketika teman-teman kita sedang giat belajar dalam menghadapi ujian semester akhir, tapi kita malah malas-malasan. Akhirnya, karena ujian seminggu lagi, kita dituntut oleh lingkungan untuk merubah sikap tadi. Tipe seperti ini biasanya tidak akan bisa mencapai apa yang diinginkan lingkungannya, meskipun dia bisa mencapainya, dia tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pencapaiannya.
2. Karena dunia. Tipe yang ke-dua ini jika dilihat dari tujuan perubahannya, lebih baik dibandingkan dengan para perubah tipe pertama. Karena tujuan dalam merubah dirinya terlihat jelas, sehingga menuntut dirinya untuk terus berusaha mencapai tujuannya itu. Tapi, yang menjadi catatan penting dari tipe ke-dua ini, dia tidak akan merasa puas jika tujuannya sudah dicapai. Sebab tujuannya dihiasi oleh hawa nafsu duniawi, sedangkan hawa nafsu tidak akan pernah membuat manusia merasa puas. Padahal, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar” (QS. An Nisa:77).
Model tipe ke-dua inipun tidak sedikit telah menjangkit jiwa-jiwa para perubah, karena dunia sering mereka rasionalkan dengan alasan bahwa dunia tidak berbentuk "abstrak", sehingga tujuannnya hanya untuk sesuatu yang jelas dipandang manusia. Padahal pandangan mereka terkaburkan oleh fatamorgana dunia yang indah dipandang mata, tidak kenyang dimakan hawa nafsu, dan tidak kekal dipandangan Tuhan.
3. Karena Allah. Jika kita tau makna dibalik tipe ke-tiga ini, tidak diragukan lagi, saya dan Anda pasti ingin menjadikan tujuan dari perubahannya. Sebab tujuan ini sesuai dengan sebuah adagium "Sekali mendayung dua pulau terlewati", jadi tidak hanya satu yang akan didapat, malahan yang satu ini malah menjadi pintu menuju pintu-pintu kebahagiaan lainnya. Semua tujuan selain tujuan lillâhi ta'ala, akan berbuah kekalahan. Tujuan hidup karena materi, pasti akan kalah karena materi itu akan musnah. Tujuan hidup karena ingin dipuji manusia, juga akan kalah karena manusia akan mati. Tapi tujuan hanya karena Allah, kita akan selalu menjadi pemenang, karena Allah tidak akan mati rahmat-Nya, tidak akan berhenti hidayah-Nya, tidak akan tamat ampunan-Nya.
Tapi sayang seribu sayang, manusia sering kali berpikir serba instan apalagi di jaman yang serba cepat dan siap sedia ini. Mereka tidak mau berpikir jauh yang dapat menghasilkan tujuan yang lebih jauh dari pada tujuan keduniawiannya. Padahal, para perubah yang tangguh itu adalah para perubah yang bisa merubah sifat-sifat keduniwiannya dengan tujuan yang mulia (Mardlâtillâh).

Jangan berlari sebelum berdiri
Teringat ketika kita masih kecil, setelah keluar dari rahim ibu tidak serta-merta kita berlari ingin meraih pelukan ibu. Tapi tahap demi tahap dilalui, dari berbaring, terus merangkak, berdiri dan akhirnya bisa berlari mengejar pelukannya. Semua ini membutuhkan waktu dan kesabaran "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. Al Baqarah:155).
Karena itu, tahapan dari perubahan merupakan suatu keniscayaan. Tapi yang mesti kita catat di awal, sebelum mulai merubah kita mesti melirik pada diri apakah kita termasuk tipe para perubah yang ke-tiga, ataukah tidak?. Jika tidak, cepat tancapkan di hati bahwa hanya Allah lah yang menjadi tujuan kita, setelah itu mari kita mulai berlari setelah berdiri untuk meraih perubahan:
1. Sadar akan kekurangan. Perubahan pasti tidak akan dilakukan jika kita tidak menyadari bahwa dalam diri kita ada kekurangan, sebab dengan sadar pada kekurangan akan mendorong manusia terus berpikir dan berubah. Dan memang benar apa yang dikatakan Harun Yahya bahwa "manusia adalah makhluk yang memiliki banyak kelemahan (kekurangan) dan harus terus-menerus berusaha untuk mengatasi kelemahan tersebut". Usaha inilah yang saya sebut dengan perubahan, yaitu merubah kekurangan dalam diri. Sebab hanya Allah saja yang tidak memiliki kekurangan, Dia tidak akan berkurang ataupun bertambah, jika Dia bertambah maka Dia kekurangan. Allah tetap dengan Kebesaran-Nya, tetap dalam Rahman dan Rahim-Nya serta tetap dalam Asma dan Sifat yang dimiliki-Nya.
Namun kekurangan yang kita miliki ini tidak akan berbuah perubahan, jika kita tidak optimis memiliki prinsip bahwa kekurangan yang ada pada diri kita adalah suatu hal yang dapat dirubah.
Jadi, sebelum menuju anak tangga perubahan, kita mesti yakin bahwa kita memiliki kekurangan, dan kekurangan itu mesti kita rubah. Sebab dengan sadar akan kekurangan diri, maka kita telah menggenggam lima puluh persen menuju kesuksesan perubahan.
Sadar akan kekurangan inilah yang membuat orang-orang biasa menjadi para tokoh besar.
2. Pengorbanan. Perencanaan dalam perubahan memang dibutuhkan, tapi perencanaan ini tidak akan mempunyai hasil jika tidak disertai pelaksanaan dan pengorbanan. Inilah yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw beserta para Muhajirin ketika berhijrah, penuh dihiasi dengan pengorbanan harta, jiwa dan keluarga. Semua ini mereka lakukan agar mendapat karunia dan ridla Allah: "bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar" (QS. Al Hasyr:8)
Hasil dari suatu perubahan tidak akan dapat dikecap indah, jika tidak melalui pengorbanan yang dirasakan.
3. Ridla atas perubahan. Dengan izin Allah, segala tahapan yang kita lewati dalam merubah diri –atau bahkan merubah orang lain- dapat terlaksana. Namun, perubahan yang kita dapati ini pasti akan mengalami cobaan.

Bagian yang sulit
Ujian selalu hadir meskipun tak dikehendaki kedatangannya, sebab ujianpun merupakan peristiwa sunatullah. Walaupun kita sudah melewati ujian yang pertama, ujian kedua sudah mendekati, sedangkan ujian ketiga menunggu giliran. Ujian demi ujian silih berganti, karenanya Allah berfirman:”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?”(QS. Al ‘ankabut:2). Artinya, ujian adalah alat pengukur keimanan dan kesuksesan kita, sebab dengan ujian juga yang menuntut kita untuk terus berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam usaha perubahan, tentu saja tidak akan lepas dari ujian. Sebab dengan ini pula kita bisa melihat berhasil atau tidaknya usaha perubahan yang sedang kita lakukan. Adapun ujian yang sering melanda para perubah diantaranya:
1. Sugesti diri. Tentu saja, jika di awal kita sudah gagal dalam merencanakan perubahan, maka kita sudah merencanakan kegagalan. Perencanaan awal ini sering kali mendapat serangan dari diri kita sendiri, bukannya dari orang lain. Sering kita dengar keluhan “ah, nampaknya saya tidak bisa melakukannya”, atau “nampaknya saya belum siap untuk berubah” dan kata-kata pesimis lainnya yang keluar dari mulut. Sugesti ini sebenarnya terlahir dari ketidak-Pede-an dan “terlalu” mengaca pada kekurangan diri, dia juga suka menganggap bahwa kekurangannya tidak dapat dirubah.
Untuk mengobati penyakit ini, kita mesti banyak mempelajari arti sebuah perubahan, mengaca pada orang-orang yang sudah sukses dalam merubah dirinya dan kita mesti sadar bahwa sifat pesimis hanya didapati oleh orang-orang kafir dalam menghadapi rahmat Allah (QS. Al ‘ankabut:23).
2. Takut terhadap asumsi orang lain. Memang, ada perlunya kita mendengarkan pendapat orang lain. Tapi jika pendapat itu malah menggerus sugesti diri yang sudah kokoh, kita tampung saja pendapatnya atau bahkan kita tidak perlu mendengarkannya. Jika kita terlalu memperhatikan pendapat orang lain, akan muncul ucapan-ucapan yang bisa melemahkan usaha seperti; “kalau saya berubah, saya takut orang lain menjauhi saya” atau “jika saya berubah, saya takut mempengaruhi keuangan saya”. Maka, mulai kita tanamkan sugesti “bagaimana menurut kita”, bukannya menanam perkataan “apa menurut orang lain?”. Jangan takut jika perubahan mengakibatkan teman-teman mulai menjauh, sebab perubahan akan mendatangkan teman-teman yang baru, yang bertaqwa dan yang lebih baik. Mereka akan menerima dan membantu kita, layaknya kaum Anshar menerima dan berkorban dalam membantu para Muhajirin (QS. Al Hasyr:9). Jangan takut walau kita sendiri terasing, bukankah Nabipun bersabda “Berbahagialah orang-orang yang Terasing”, terasing dari lingkungan yang penuh dosa dan kesalahan.
Kalaulah ujian yang kita hadapi bisa mengalahkan usaha yang kita jalani, maka kita tidak boleh lantas menyerah. Beremosilah dengan netral (sabar) terhadap keberhasilan dan kegagalan, karena semuanya merupakan bagian dari permainan dunia, kekalahan mesti membuat kita menjadi semakin pandai dan bertekad bahwa kita bisa bangun kembali. “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu”(QS. Muhammad: 36).
Sudah waktunya kita berubah
Setelah kita sadar akan kekurangan diri, mengetahui tujuan diri dan siap menghadapi ujian, maka sudah waktunya kita untuk berubah. Sebab, meskipun kita enggan untuk berubah, zaman tetap akan berubah. Sedangkan kita malah menjadi penonton yang diam, digulung gelombang kemajuan zaman. Pastinya kita tidak ingin termasuk orang-orang seperti ini, maka mari kita mulai untuk:
Mengubah cara pandang (menjadi). Yakinkan di hati bahwa kita bisa berubah.
Mengubah cara bertindak (melakukan). Mulai gerakkan urat dan otot jiwa kita menuju perubahan.
Mengubah kenyataan (mempunyai). Akhirnya dengan izin Allah, kita bisa merubah kenyataan dan memiliki kenyataan yang lebih baik dari sebelumnya.

Kontemplasi Dengan Tahajjud


Kontemplasi adalah perenungan terhadap diri atau introspeksi atas diri. Dengan kontemplasi, kita bisa mengenal jauh jati diri kita, serta bisa menjawab segala pertanyaan yang terlontar dari rasa kebingungan kita. “Minta fatwalah kepada hatimu” (HR. Ahmad dan Ad Darimi, dengan sanadnya yang Hasan), itulah pesan akurat Nabi kepada kita, agar bisa mengenal apa itu kebaikan (Al birr) dan apa yang dinamakan dosa (Al itsm). Meminta fatwa kepada hati, berarti kita meminta fatwa kepada kebenaran yang ada dalam diri kita, sedangkan kebenaran datangnya dari Allah semata. Jadi kontemplasi bisa kita definisikan sebagai upaya mencari jati diri, dengan cara berdialog bersama kebenaran.
Dengan kontemplasi, kita bisa kembali menyapa “Kebenaran/Taqwa” yang sudah biasa kita cuekkan, dan kita bisa mengobatinya dari siksaan yang selalu kita perbuat (dosa).
Di jaman serba teknologi ini, orang lebih suka hidup serba instant dan tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu, kecuali jika waktu itu terasa nikmat menurut syahwatnya. Mereka berebut datang ke Psikiater, atau tenggelam di bawah lampu diskotik hanya untuk menghilangkan kesusahan sementara saja.
Padahal, 14 abad yang lalu Islam telah memberikan solusi instant kepada manusia yang sedang terserang penyakit stress. Tahajjud merupakan salah satu solusi yang bisa menghilangkan stress tersebut. Di samping kondisi waktunya yang memungkinkan manusia menikmati keheningan, juga memiliki daya besar yang bisa mendorong kita untuk senantiasa berintrospeksi dan menyusun visi-misi hidup (dengan Do’a). Oleh karena itu, dianjurkan untuk memperbanyak do’a di sepertiga malam, disamping do’anya langsung terkabul, juga bisa membantu kita untuk hidup berjalan dengan visi dan misi.
Tahajjud adalah suatu sarana manusia untuk berkontemplasi yang bisa membantu menghilangkan keangkuhan psikologinya. Karena di waktu ini, kita diharuskan merendahkan diri, sehingga kita bisa mengintropeksi segala hal yang membuat kita stress. Sedangkan stress itu kebanyakan datang dari dosa yang telah kita lakukan, sehingga dosa tersebut dapat membuat hati kita bergemuruh –karena kecenderungan taqwa kita menolaknya-, lalu kondisi tubuh menjadi lemas dan pikiran tak menentu. Oleh sebab itu, Ibn Mas’ud berkata “Mari kita beriman dulu sejenak”, agar kita bisa berkontemplasi sekaligus kembali membersihkan hati dari debu-debu dosa, dan ini bisa dilakukan dalam tahajjud kita. Bukankah Allah telah memerintahkan kita agar menyusun target hidup?. Sebagaimana dalam firmannya “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hasyr: 18). Artinya; senantiasa mempelajari pengalaman (memperhatikan apa yang telah diperbuatnya) dengan menyesali dosa yang diperbuat, memprediksi masa depan dengan berdo’a (untuk hari esok), serta bersikap professional dari sekarang dengan bertaqwa pada Allah Swt (dan bertakwalah kepada Allah). Maka, Tahajjud merupakan solusi instan untuk berkontemplasi dalam menyusun target hidup.