Monday, November 10, 2008

Jangan Jadi Penonton

Perubahan menuntut kita untuk mengerenyitkan kening, mengusap peluh dan senantiasa bersabar. Karena perubahan merupakan suatu hal yang baru, dan terkadang bisa membuat manusia terkaget-kaget menghadapinya. Perubahan sebenarnya terjadi pada diri manusia dari waktu ke waktu, hari, bulan, tahun dan perubahan lainnya yang terasa ataupun tidak. Semuanya merupakan peristiwa sunatullah yang tidak dapat kita elakkan. Perubahan bisa diidentikkan dengan Hijrah, yaitu usaha merubah kesalahan dan dosa menuju ketaqwaan, seperti sabda Nabi Saw: “dan Muhajir adalah mereka yang berhijrah dari kesalahan dan dosa” (HR. Ibn Majah dan Ahmad)
Dalam bidang ekonomi kita lihat telah mengalami perubahan, dari era agraris, menuju era industri dan sekarang kita berada di era informasi. Begitupun dengan hawa pemerintahan di Indonesia, sudah berubah dari orde lama ke orde baru, dan sekarang menginjak orde reformasi. Perubahan ini terjadi karena pada suatu era mengalami kesalahan dan dosa, maka terjadilah perubahan demi mengejar perbaikan. Begitupun dengan seorang da’i, Jika ia tidak dapat berubah dan mengejar laju perkembangan masyarakat, maka akan terjadi kesenjangan antara da’i dengan mad’unya, baik kesenjangan ilmu pengetahuan, ekonomi ataupun sosial. Sebab dia tidak mampu menjawab persoalan masyarakat maju, sedangkan dia masih saja berkecimpung dengan permasalahan satu atau dua kullah air thaharah.
Arti semua ini, di manapun dan kapanpun makhluk berada, pasti akan mengalami perubahan dari kesalahan dan dosa menuju perbaikan. Namun, yang membedakannya adalah arah dari orientasi sebuah perubahan.

Mengubah orientasi perubahan
Layaknya orang yang akan menembak sasaran, maka dia mesti membuat perhitungan lebih matang dan mengukur tepat atau tidaknya arah senapan. Agar jangan sampai dia salah sasaran, sehingga tidak mengakibatkan kesalahan yang fatal. Perubahanpun membutuhkan perhitungan yang matang dan sasaran jelas sesuai dengan target yang ingin diraih. Karena itu Nabi Saw mewanti-wanti bahwa Hijrah (perubahan) sekarang itu sebatas kesungguhan (Jihad) dan niat (baca: orientasi), sebagaimana sabdanya: “Tidak ada lagi Hijrah setelah kemenangan Makkah, melainkan kesungguhan (Jihad) dan niat” (HR. Ahmad dan yang lainnya). Jadi, orientasi perubahan adalah penentuan diterima atau tidaknya perubahan oleh Allah Swt.
Disini saya akan mengelompokkan tipe manusia yang sedang berubah, dan mereka berhasrat ingin meraih keberhasilan dalam perubahannya sesuai dengan orientasinya masing-masing:
1. Karena Dorongan lingkungan. Tidak sedikit orang berubah bukan atas kehendaknya sendiri. Dia sebenarnya tidak ingin untuk merubah dirinya, tapi karena lingkungan menuntutnya untuk berubah, maka dia terpaksa menuruti perubahan itu. Tipe orang seperti ini tidak buruk jika dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai hasrat untuk berubah, meskipun lingkungan disekitarnya berpengaruh besar untuk merubahnya.
Contoh tipe yang pertama ini sering kita dapati pada teman kita, ataupun pada diri kita sendiri. Misalkan ketika teman-teman kita sedang giat belajar dalam menghadapi ujian semester akhir, tapi kita malah malas-malasan. Akhirnya, karena ujian seminggu lagi, kita dituntut oleh lingkungan untuk merubah sikap tadi. Tipe seperti ini biasanya tidak akan bisa mencapai apa yang diinginkan lingkungannya, meskipun dia bisa mencapainya, dia tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pencapaiannya.
2. Karena dunia. Tipe yang ke-dua ini jika dilihat dari tujuan perubahannya, lebih baik dibandingkan dengan para perubah tipe pertama. Karena tujuan dalam merubah dirinya terlihat jelas, sehingga menuntut dirinya untuk terus berusaha mencapai tujuannya itu. Tapi, yang menjadi catatan penting dari tipe ke-dua ini, dia tidak akan merasa puas jika tujuannya sudah dicapai. Sebab tujuannya dihiasi oleh hawa nafsu duniawi, sedangkan hawa nafsu tidak akan pernah membuat manusia merasa puas. Padahal, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar” (QS. An Nisa:77).
Model tipe ke-dua inipun tidak sedikit telah menjangkit jiwa-jiwa para perubah, karena dunia sering mereka rasionalkan dengan alasan bahwa dunia tidak berbentuk "abstrak", sehingga tujuannnya hanya untuk sesuatu yang jelas dipandang manusia. Padahal pandangan mereka terkaburkan oleh fatamorgana dunia yang indah dipandang mata, tidak kenyang dimakan hawa nafsu, dan tidak kekal dipandangan Tuhan.
3. Karena Allah. Jika kita tau makna dibalik tipe ke-tiga ini, tidak diragukan lagi, saya dan Anda pasti ingin menjadikan tujuan dari perubahannya. Sebab tujuan ini sesuai dengan sebuah adagium "Sekali mendayung dua pulau terlewati", jadi tidak hanya satu yang akan didapat, malahan yang satu ini malah menjadi pintu menuju pintu-pintu kebahagiaan lainnya. Semua tujuan selain tujuan lillâhi ta'ala, akan berbuah kekalahan. Tujuan hidup karena materi, pasti akan kalah karena materi itu akan musnah. Tujuan hidup karena ingin dipuji manusia, juga akan kalah karena manusia akan mati. Tapi tujuan hanya karena Allah, kita akan selalu menjadi pemenang, karena Allah tidak akan mati rahmat-Nya, tidak akan berhenti hidayah-Nya, tidak akan tamat ampunan-Nya.
Tapi sayang seribu sayang, manusia sering kali berpikir serba instan apalagi di jaman yang serba cepat dan siap sedia ini. Mereka tidak mau berpikir jauh yang dapat menghasilkan tujuan yang lebih jauh dari pada tujuan keduniawiannya. Padahal, para perubah yang tangguh itu adalah para perubah yang bisa merubah sifat-sifat keduniwiannya dengan tujuan yang mulia (Mardlâtillâh).

Jangan berlari sebelum berdiri
Teringat ketika kita masih kecil, setelah keluar dari rahim ibu tidak serta-merta kita berlari ingin meraih pelukan ibu. Tapi tahap demi tahap dilalui, dari berbaring, terus merangkak, berdiri dan akhirnya bisa berlari mengejar pelukannya. Semua ini membutuhkan waktu dan kesabaran "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. Al Baqarah:155).
Karena itu, tahapan dari perubahan merupakan suatu keniscayaan. Tapi yang mesti kita catat di awal, sebelum mulai merubah kita mesti melirik pada diri apakah kita termasuk tipe para perubah yang ke-tiga, ataukah tidak?. Jika tidak, cepat tancapkan di hati bahwa hanya Allah lah yang menjadi tujuan kita, setelah itu mari kita mulai berlari setelah berdiri untuk meraih perubahan:
1. Sadar akan kekurangan. Perubahan pasti tidak akan dilakukan jika kita tidak menyadari bahwa dalam diri kita ada kekurangan, sebab dengan sadar pada kekurangan akan mendorong manusia terus berpikir dan berubah. Dan memang benar apa yang dikatakan Harun Yahya bahwa "manusia adalah makhluk yang memiliki banyak kelemahan (kekurangan) dan harus terus-menerus berusaha untuk mengatasi kelemahan tersebut". Usaha inilah yang saya sebut dengan perubahan, yaitu merubah kekurangan dalam diri. Sebab hanya Allah saja yang tidak memiliki kekurangan, Dia tidak akan berkurang ataupun bertambah, jika Dia bertambah maka Dia kekurangan. Allah tetap dengan Kebesaran-Nya, tetap dalam Rahman dan Rahim-Nya serta tetap dalam Asma dan Sifat yang dimiliki-Nya.
Namun kekurangan yang kita miliki ini tidak akan berbuah perubahan, jika kita tidak optimis memiliki prinsip bahwa kekurangan yang ada pada diri kita adalah suatu hal yang dapat dirubah.
Jadi, sebelum menuju anak tangga perubahan, kita mesti yakin bahwa kita memiliki kekurangan, dan kekurangan itu mesti kita rubah. Sebab dengan sadar akan kekurangan diri, maka kita telah menggenggam lima puluh persen menuju kesuksesan perubahan.
Sadar akan kekurangan inilah yang membuat orang-orang biasa menjadi para tokoh besar.
2. Pengorbanan. Perencanaan dalam perubahan memang dibutuhkan, tapi perencanaan ini tidak akan mempunyai hasil jika tidak disertai pelaksanaan dan pengorbanan. Inilah yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw beserta para Muhajirin ketika berhijrah, penuh dihiasi dengan pengorbanan harta, jiwa dan keluarga. Semua ini mereka lakukan agar mendapat karunia dan ridla Allah: "bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar" (QS. Al Hasyr:8)
Hasil dari suatu perubahan tidak akan dapat dikecap indah, jika tidak melalui pengorbanan yang dirasakan.
3. Ridla atas perubahan. Dengan izin Allah, segala tahapan yang kita lewati dalam merubah diri –atau bahkan merubah orang lain- dapat terlaksana. Namun, perubahan yang kita dapati ini pasti akan mengalami cobaan.

Bagian yang sulit
Ujian selalu hadir meskipun tak dikehendaki kedatangannya, sebab ujianpun merupakan peristiwa sunatullah. Walaupun kita sudah melewati ujian yang pertama, ujian kedua sudah mendekati, sedangkan ujian ketiga menunggu giliran. Ujian demi ujian silih berganti, karenanya Allah berfirman:”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?”(QS. Al ‘ankabut:2). Artinya, ujian adalah alat pengukur keimanan dan kesuksesan kita, sebab dengan ujian juga yang menuntut kita untuk terus berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam usaha perubahan, tentu saja tidak akan lepas dari ujian. Sebab dengan ini pula kita bisa melihat berhasil atau tidaknya usaha perubahan yang sedang kita lakukan. Adapun ujian yang sering melanda para perubah diantaranya:
1. Sugesti diri. Tentu saja, jika di awal kita sudah gagal dalam merencanakan perubahan, maka kita sudah merencanakan kegagalan. Perencanaan awal ini sering kali mendapat serangan dari diri kita sendiri, bukannya dari orang lain. Sering kita dengar keluhan “ah, nampaknya saya tidak bisa melakukannya”, atau “nampaknya saya belum siap untuk berubah” dan kata-kata pesimis lainnya yang keluar dari mulut. Sugesti ini sebenarnya terlahir dari ketidak-Pede-an dan “terlalu” mengaca pada kekurangan diri, dia juga suka menganggap bahwa kekurangannya tidak dapat dirubah.
Untuk mengobati penyakit ini, kita mesti banyak mempelajari arti sebuah perubahan, mengaca pada orang-orang yang sudah sukses dalam merubah dirinya dan kita mesti sadar bahwa sifat pesimis hanya didapati oleh orang-orang kafir dalam menghadapi rahmat Allah (QS. Al ‘ankabut:23).
2. Takut terhadap asumsi orang lain. Memang, ada perlunya kita mendengarkan pendapat orang lain. Tapi jika pendapat itu malah menggerus sugesti diri yang sudah kokoh, kita tampung saja pendapatnya atau bahkan kita tidak perlu mendengarkannya. Jika kita terlalu memperhatikan pendapat orang lain, akan muncul ucapan-ucapan yang bisa melemahkan usaha seperti; “kalau saya berubah, saya takut orang lain menjauhi saya” atau “jika saya berubah, saya takut mempengaruhi keuangan saya”. Maka, mulai kita tanamkan sugesti “bagaimana menurut kita”, bukannya menanam perkataan “apa menurut orang lain?”. Jangan takut jika perubahan mengakibatkan teman-teman mulai menjauh, sebab perubahan akan mendatangkan teman-teman yang baru, yang bertaqwa dan yang lebih baik. Mereka akan menerima dan membantu kita, layaknya kaum Anshar menerima dan berkorban dalam membantu para Muhajirin (QS. Al Hasyr:9). Jangan takut walau kita sendiri terasing, bukankah Nabipun bersabda “Berbahagialah orang-orang yang Terasing”, terasing dari lingkungan yang penuh dosa dan kesalahan.
Kalaulah ujian yang kita hadapi bisa mengalahkan usaha yang kita jalani, maka kita tidak boleh lantas menyerah. Beremosilah dengan netral (sabar) terhadap keberhasilan dan kegagalan, karena semuanya merupakan bagian dari permainan dunia, kekalahan mesti membuat kita menjadi semakin pandai dan bertekad bahwa kita bisa bangun kembali. “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu”(QS. Muhammad: 36).
Sudah waktunya kita berubah
Setelah kita sadar akan kekurangan diri, mengetahui tujuan diri dan siap menghadapi ujian, maka sudah waktunya kita untuk berubah. Sebab, meskipun kita enggan untuk berubah, zaman tetap akan berubah. Sedangkan kita malah menjadi penonton yang diam, digulung gelombang kemajuan zaman. Pastinya kita tidak ingin termasuk orang-orang seperti ini, maka mari kita mulai untuk:
Mengubah cara pandang (menjadi). Yakinkan di hati bahwa kita bisa berubah.
Mengubah cara bertindak (melakukan). Mulai gerakkan urat dan otot jiwa kita menuju perubahan.
Mengubah kenyataan (mempunyai). Akhirnya dengan izin Allah, kita bisa merubah kenyataan dan memiliki kenyataan yang lebih baik dari sebelumnya.

No comments: