Monday, November 10, 2008

Prinsip Voluntarisme dalam Beragama

Upaya merealisasikan good and clean governance Republik Indonesia.
Korupsi tak henti-henti mencerabuti nilai-nilai terpenting dalam tubuh Republik Indonesia, padahal bangsa ini memiliki rakyat yang meyakini arti penting agama. Nilai-nilai yang saya maksudkan ini adalah nilai-nilai yang dalam istilahnya Kuntowijoyo disebut sebagai etika, dan etika inilah yang biasa menetapkan pandangan mengenai suatu hal yang benar ataupun salah. Sedangkan nilai yang mesti dahulu dimiliki pemerintah beserta masyarakat Indonesia adalah, kesadaran dalam beragama. Karena tidak sedikit permasalahan yang terjadi saat ini, karena umat beragama tidak menjalankan amanah Tuhan.
Disini penulis tidak hendak membahas negara agama, karena negara kita bukanlah Negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama, meskipun mayoritas penduduknya memeluk agama yang sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang integral dan komprehensif. Akan tetapi penulis akan membahas sejauh mana syari’at Islam dapat menjadikan negara menjadi berbudaya dan berakhlaqul karimah dengan barometer dengan akhlaq Islamiah, meskipun tanpa membahas pidana dan perdata Islam (yang memang seharusnya mesti ditegakkan).
Kita akui bersama, bahwa tidak ada satu agamapun yang membolehkan atau memerintahkan umatnya untuk berbuat dzalim terhadap orang lain. Tapi yang membedakan antara agama Islam dari semua agama yang ada adalah, keintegralan dan kekomprehensifan syari’at Islam dalam mengatur hidup manusia, sehingga pribadi dan negara sama-sama menjadi baik. Karenanya, penulis hanya akan merekonstruksi bangsa Indonesia –dalam tulisan ini- dengan kaca mata Islam.
Demokrasi dalam negara kita, setidaknya sudah bisa memberikan kebebasan rakyatnya untuk menjalankan ajaran agamanya. Tapi, kebebasan ini tidak sampai menyentuh kepada perkara pidana yang dimana agama (baca: Islam) sudah memilikinya jauh-jauh hari sebelum demokrasi ada di Amerika, bahkan di Indonesia. Dengan usahanya yang cukup keras, Indonesia menghias demokrasi dengan asas Pancasilanya. Padahal, menurut Cak Nur “Orang boleh mengatakan sebagai retorika politik bahwa berkat Pancasila kita bisa toleran. Namun, secara substansi adalah berkat Islam kita toleran” (Dialog Keterbukaan, Paramadina, 1998, h. 50). Sebab itu, bagaimanapun juga efek baik dari Pancasila tetap Islamlah yang menghiasinya, karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Namun, efek buruk yang terjadi saat ini bukanlah datang dari agama Islam, tapi dari diri masyarakat Indonesia sendiri yang tidak menjalankan agama dengan baik. Karena, agama Islam tidak pernah dan tidak akan mengajarkan kesalahan kepada umatnya. Sebab itulah, garuda Pancasila yang dahulu gagah, kini menjadi loyo dan sakit terkena “flu burung” hawa nafsu manusia.
Perkembangan demokrasi dalam pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat Indonesia dari periode ke periode, sudah mulai tersadarkan. Dari pemilu tahun ini yang dilakukan secara langsung sehingga Republik Mesirpun mencontohnya, sampai demokrasi liberal yang “tutup mata” terhadap degradasi akhlaq pemerintah dan masyarakat. Juga, demokrasi Indonesia telah lama memberikan porsi bagi perkara perdata muslimin Indonesia dalam Pengadilan Agama. namun, peran pengadilan agama sampai saat ini belum begitu dikenal oleh rakyat Indonesia, karena itu suatu kemestian untuk mempublikasikanya agar Syari’at Islam –dalam perkara perdata- dijalankan muslimin Indonesia. Dari sikap keterbukaan demokrasi ini, Indonesia sudah seharusnya duduk diperingkat paling atas di antara negara-negara demokrasi lainnya, karena dia sudah taat menjalankan demokrasi yang sebenar-benarnya.
Tapi, karena demokrasi bersifat terbatas oleh hak-hak “kebebasan” orang lain, maka geraknya tidak luwes dalam menghadapi degradasi moral bangsa. Degradasi ini bisa terjadi karena rakyat Indonesia sudah tidak menjalankan “aturan” dengan “prinsip voluntarisme”. Aturan yang penulis maksudkan adalah aturan agama, karena jika aturan agama sudah dijalankan, maka aturan negara –yang sesuai dengan aturan agama- sekaligus telah dijalankan.
Prinsip voluntarisme ini diartikan oleh Drs. Erlangga bin Zein sebagai “Azas kesukarelaan dalam tindakan yang berdasar atas dimensi metafisik manusiawi, atau Aku dengan ikhlas bertindak menuju kebenaran, kebaikan dan keindahan” (Metode Induktif Teleologi dan Demokrasi, Kalimusada, 1991, h. 43). Prinsip ini dalam ajaran Islam telah dahulu ada dan dinamakan sebagai “prinsip Amal Shaleh” (QS. Al Kahfi: 110), karena amalan shaleh umat Islam tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas untuk Allah Swt. dan benar sesuai dengan contoh Nabi Muhammad Saw..
Kita tidak membutuhkan adanya jaringan-jaringan liberalis, yang katanya hendak memperkuat integrasi bangsa dengan menyamakan agama-agama. Karena pada kenyataannya mereka malah menyulut konflik disintegrasi bangsa, sebab mereka telah mengusik kesakralan agama Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn dan agama-agama lain, sehingga umat beragama menjadi tidak senang dan marah. Kitapun tidak membutuhkan suatu badan untuk mengawasi pemerintah ataupun intel untuk memata-matai rakyat, karena kita memiliki Pengawas yang Maha Mengetahui semua perkara. Tapi yang kita perlukan adalah prinsip amal shaleh/voluntarisme dalam menjalankan ajaran agama, agar manusia tetap hanya takut kepada Allah Swt. yang senantiasa mengawasi dan memberi rahmat.
Kalaulah hanya elit pemerintah saja yang menjalankan prinsip amal shaleh ini, maka Indonesia tidak akan kembali miskin dan terdepan dalam hal korupsi, penipuan, lalai dalam bekerja dan penyakit akut lainnya akan terhapus. Apalagi jika prinsip ini sama-sama dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka permasalahan tidak akan sebanyak yang terjadi saat ini. Dan memang, prinsip ini mesti dilakukan oleh semua aspek umat, karena objek Islam bukan hanya untuk orang per-orang tapi untuk semua orang.
Tapi, kondisi bangsa Indonesia saat ini telah banyak tergerus oleh hawa nafsu manusia, sehingga cita-cita terwujudnya Good and Clean Governance (pemerintahan yang baik dan bersih) di negri ini seakan-akan telah menjadi utopia yang mengakar kuat dalam benak masyarakatnya. Karenanya, mesti ada penanggulangan secara gradual dan intensif. Penanggulangan ini penulis urut sebagai berikut:
1. Menghidupkan kesadaran beragama, agar prinsip Amal Shaleh ini dapat terjalani, dan Indonesia memiliki pemerintah dan rakyat yang senantiasa takut kepada Allah Swt.
2. Mengoptimalkan peran tokoh agama, penanggulangan pertama tidak akan jalan jika tidak ada subjek yang menghidupkannya, dan subjek ini mesti tahu keadaan dan kebutuhan umat. Sebab itu, diperlukan sosok ulama yang bisa mengejar kesenjangan antara umat dengannya, terutama dalam kesenjangan intelektual, agar pesan-pesan agama dapat mudah dicerna oleh umat.
3. Syari’at Islam menjadi sandaran umum demokrasi, jika kedua cara tadi tidak dapat dilakukan, maka Syari’at Islam mesti dijadikan sandaran umum demokrasi Republik Indonesia, walaupun perkara pidana tetap memakai undang-undang positif. Kenapa?, sebab Islamlah yang paling layak dijadikan sandaran –meskipun hanya sebagai sandaran umum-, karena disamping keintegralan dan kekomprehensifan ajarannya, juga karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Bukankah “mufakat mayoritas” merupakan ciri-ciri demokrasi?
4. Syari’at Islam mesti ditegakkan. Jika penyakit ini tetap saja tidak dapat ditanggulangi, maka penegakkan Syari’at Islam sudah menjadi kemestian dalam tata negara Indonesia. Artinya, Negara diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama Islam, baik dalam perkara pidana, perdata, ekonomi, sosial dan aspek lainnya.

Oleh karena itu, mari kita sadar dan kembali kepada agama yang mengajarkan nilai politik egaliterianisme (kesederajatan) antar pemerintah dengan rakyat (QS. Al Hujurât: 13), serta yang memerintahkan kepada nilai ekonomi yang jujur dan yang memelihara keamanan harta rakyat (QS. Albaqarah: 188). Juga memerintahkan kepada nilai-nilai sosial-budaya yang berakhlaqul karimah (QS. Al Mâidah: 2).
Ajakan kembali kepada agama ini bukan berarti mengajak manusia agar kembali pada Dark Age (masa kegelapan), dimana agama Kristen menguasai seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga menghancurkan peradaban dunia. Akan tetapi, ajakan ini adalah ajakan kepada Renaissance/Tanwîr dimana agama Islam menerangi seluruh aspek kehidupan manusia.Syari’at Islam tidak akan berubah dan tetap akan relevan dengan fitrah manusia. Karena dengan ketetapan dan kerelevanannya ini, maka undang-undang Islam tetap terdepan dalam mengatasi masalah kemanusiaan. Tapi, mengapa manusia enggan menggunakan Syari’at Islam?!.

No comments: